Kamis, 19 Juni 2014

Biografi Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi hafidzhahullah

Nama dan Nisbatnya

Nama beliau adalah Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi. Kunyah beliau (nama panggilan) adalah Abu Muhammad.

Lahir di Kota Makassar pada tanggal 12 Agustus 1976, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.

Pengalaman Menuntut Ilmu

Bermula dari tahun 1994, beliau belajar bahasa Arab dan beberapa cabang ilmu syari’at lainnya di pulau Jawa.

Mendekati pertengahan tahun 1995, beliau diberi anugrah oleh Allah sehingga mendapat kesempatan untuk menuntut ilmu ke Ma’had Darul Hadits, Dammaj, Yaman. Dan beliau terus menerus belajar di desa terpencil itu hingga pertengahan tahun 1999. Di Ma’had Darul Hadits beliau hafal Al-Qur’an 30 juz dan memperlajari berbagai bidang ilmu syari’at.

Semenjak kembali dari Yaman pada tahun 1999, beliau banyak sibuk dengan mengajar dan menulis. Dan beliau masih saja sibuk meneliti, membahas dan belajar hingga hari ini.

Kemudian pada tahun 2004, Allah memudahkan untuk menimba ilmu ke Saudi Arabia dan talaqqi dari sejumlah ulama besar yang menjadi rujukan manusia di masa ini. Dan hingga hari ini, Allah masih memudahkan beliau untuk bolak-balik ke Saudi Arabia dengan maksud memperdalam ilmu agama dan mempererat hubungan dengan ulama. Selama masa tersebut, beliau mengkhatam Al-Qur`an dua kali dari hapalan dengan membaca riwayat Hafsh dari Ashim melalui jalan Asy-Syathibiyyah dan Thoyyibah An-Nasyar, talaqqi dari dua orang guru ahli Qira’at dan beliau mendapat ijazah tertulis dalam hal tersebut. Selain dari itu, beliau lebih memperdalam berbagai cabang ilmu agama kepada ulama-ulama terkemuka dan mengambil sanad-sanad periwayatan buku-buku Salaf.

Para Ulama Guru-guru Beliau

Definisi seorang guru -menurut Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad- adalah siapa yang kita pernah belajar kepada sebuah bab dari buku-buku agama.

Insya Allah apa yang beliau sebutkan adalah ukuran yang pertengahan dalam kelayakan seorang berkata kepada seorang Syaikh beliau adalah Syaikhuna (guru kami). Walaupun sebagian ulama seperti Imam Adz-Dzahaby –bagi siapa yang mencermati buku himpunan guru-guru beliau- kadang menghitung seorang alim sebagai gurunya hanya dengan mengambil satu faedah darinya.

Daftar para ulama yang beliau pernah menimba ilmu kepadanya antara lain:

1. Mujaddid dan Ahli Hadits Negeri Yaman, Al-Imam Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullâh (Wafat 29 Rabi’ul Akhir 1422 H/21 Juli 2001)

Dari Syaikh Muqbil, beliau menghadiri pelajaran Shohih Al-Bukhari, Shohih Muslim, Mustadrak Al-Hakim, Tafsir Ibnu Katsir, Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shahihain, Al-Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa Fii Ash-Shahihain, Al-Jami’ Ash-Shahih Min Dalâ`il An-Nubuwwah, Al-Jami’ Ash-Shahih fii Al-Qadar, Ash-Shahih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul, Gharatul Fishal ‘alal Mu’tadin ‘ala Kutubil ‘Ilal, Dzammul Mas`alah dan Ahadits Mu’allah Zhahiruha Ash Shihhah.

2. Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Al-Muhaddits Al-‘Allamah Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya bin Muhammad An-Najmi rahimahullah (Wafat 19 Rajab 1429 H/23 Juli 2008)

Dari Syaikh Ahmad, beliau membaca langsung dari Syaikh kitab Wasiyat Abu ‘Utsman Ash-Shobuny dan beberapa bab dari Maurid Al-Adzbi Al-Zilal. Selain dari itu juga beliau menghadiri pelajaran Qurrah ‘Uyun Al-Muwahhidin, bab Buyu’ dari Bulughul Maram, Shohih Al-Bukhari, Nuzhatun Nazhor dan lain-lainnya. Dan Syaikh Ahmad memberi ijazah kepada beliau meriwayatkan kutub As-Sittah.

3. Al-Faqih An-Nihrir Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan hafizhahullah (anggota Al-Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al I’lmiyyah wal Ifta’ (Lembaga Tetap Pengkajian Ilmiah dan Fatwa), anggota Hai’ah Kibarul ‘Ulama (Badan Ulama Besar) Saudi Arabia dan anggota Majma’ Al-Fiqh)

Dari Syaikh Al-Fauzan, beliau menghadiri pelajaran Kitabut Tauhid, Al-Furqan, At-Tawassul Wal Wasilah, Tafsir Surah-sarah Al-Mufashshol, Al-Arba’in An-Nawawiyah, Ar-Raudh Al-Murbi’, Akhshor Al-Mukhtashot, Bulughul Maram dan Umdah Al-Ahkam.

4. Hamil Liwa` Al-Jarh wat Ta’dil, Al-‘Allamah Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al-Madkhali hafizhahullah

Dari Syaikh Rabi’, beliau menghadiri pelajaran Kitabul Iman dari Shohih Al-Bukhari, Asy-Syari’ah karya Al-Ajurri dan sejumlah pelajaran sore dari tafsir, manhaj, akhlaq, nasehat dan selainnya.

5. Alim negeri Shomithoh, Al-‘Allamah Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah

Dari Syaikh Zaid, beliau membaca langsung kitab Syarh As-Sunnah karya Imam Al-Muzany. Dan menghadiri ringkasan Ushulul Fiqih karya As-Si’dy, Sunan An-Nasa`iy, Tafsir surah Maryam dari Adhwa` Al-Bayan, Ushul As-Sunnah karya Ibnu Abi Zamanin dan lain-lainnya.

6. Al-Allamah Al-Ushuly As-Syaikh ‘Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghudayyan hafizhohullah (anggota Al-Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al I’lmiyyah wal Ifta’ (Lembaga Tetap Pengkajian Ilmiah dan Fatwa) dan anggota Hai’ah Kibarul ‘Ulama (Badan Ulama Besar) Saudi Arabia.)

Dari Syaikh Al-Ghudayyan, beliau menghadiri pelajaran Al-Muwafaqat, Qawa’id Al-Ahkam karya Al-‘Izz bin ‘Abdussalam, Al-Furuq karya Al-Qarafi dan Al-Inshof.

7. Ahli Hadits kota Madinah, Al-‘Allamah Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd Al ‘Abbad Al Badr hafizhahullah

Dari Syaikh Al-‘Abbad, beliau menghadiri Kitab Ash-Shiyam hingga Kitab Al-I’tikaf dari Umdah Al-Ahkam dan beberapa halaqah dari Sunan An-Nasa’iy (Musim Haji tahun (1419H/1998M), Sunan At-Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah.

8. Alim kota Madinah, Al-‘Allamah Asy-Syaikh ‘Ubaid bin ‘Abdillah bin Sulaiman Al Jabiri hafizhahullah

Dari Syaikh Ubaid, beliau menghadiri Tartib Syarh As-Sunnah karya Al-Barbahari, Kitab Ash-Shiyam dari Umdah Al-Ahkam, dan beberapa ceramah ilmiyah.

9. Al-Muhaddits Al-Allamah Asy-Syaikh Dr. Abdul Karim bin Abdillah Al-Khudhir.

Dari Syaikh Abdul Karim, beliau menghadiri Syarah Alfiyah Al-‘Iraqy dan Mimiyah fil Adab karya Al-Hafizh Al-Hakamy.

Dan banyak lagi dari masyaikh dan ulama yang agak panjang untuk diuraikan seluruhnya, seperti Mufti Saudi Arabia saat ini, Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh, Syaikh Abdul ‘Azizi Ar-Rajihi, Syaikh Sholih As-Suhamy, Syaikh Muhammad bin Hadi, Syaikh ‘Abdullah Al-Bukhari, Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaly, Syaikh Abdurrazzaq Al-‘Abbad Al-Badr dan lain-lainnya.

Selain dari itu, beliau juga menghadiri beberapa majelis Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utasimin pada musim haji tahun 1419H.

Karya Tulis dalam Bentuk Buku

Karya tulis Al Ustadz Dzulqarnain dalam bentuk buku yaitu:

1. Panduan Puasa Ramadhan di Bawah Naungan Al Qur’an dan As Sunnah, diterbitkan pertama kali pada Sya’ban 1421 H/November 2000 oleh Pustaka Al Haura’ Yogyakarta (ukuran 11,5 X 18,5 cm; tebal 72 halaman), kemudian edisi revisi diterbitkan pada Sya’ban 1426/September 2005 oleh Pustaka As Sunnah Makassar (ukuran 12 X 18,5 cm; tebal 104 halaman).

2. Indahnya Sholat Malam; Tuntunan Qiyamul Lail dan Sholat Tarawih, cetakan pertama Sya’ban 1427 H/September 2006, ukuran 12 X 18 cm, tebal 116 halaman, penerbit Pustaka As Sunnah Makassar.

3. Meraih Kemuliaan Melalui Jihad… Bukan Kenistaan, cetakan pertama Sya’ban 1427 H/Agustus 2006, ukuran 16,5 X 24,5 cm, tebal 440 halaman, penerbit Pustaka As Sunnah Makassar.

Karya Tulis dalam Bentuk Artikel Majalah

Karya tulis Al Ustadz Dzulqarnain dalam bentuk artikel di majalah (diurutkan menurut tanggal terbit) antara lain:

1. Mukjizat Terbelahnya Bulan, dimuat di majalah SALAFY edisi XXIV/1418/1998 halaman 32-36. (Pada catatan kaki artikel ini tertulis: “Penulis adalah thalibul ‘ilmi (orang yang sedang menuntut ilmu) asal Ujung Pandang. Kini sedang belajar pada Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i di Ma’had Darul Hadits, Dammaj, Yaman. Tulisan aslinya berbahasa Arab dan dialihbahasakan oleh Azhari Asri”)

2. Jihad Menurut Timbangan Ahlussunnah wal Jama’ah, dimuat di majalah SALAFY edisi 34/1421 H/2000 M halaman 11-14.

3. Ahkamul Jihad, dimuat di majalah SALAFY edisi 34/1421 H/2000 M halaman 15-24.

4. Qunut Nazilah Senjata Orang Beriman, dimuat di majalah SALAFY edisi 34/1421 H/2000 M halaman 39-44.

5. Ahkamul Jihad: Mengangkat Pemimpin dalam Jihad, dimuat di majalah SALAFY edisi 35/1421 H/2000 M halaman 36-42.

6. Hukum Terhadap Intelijen, dimuat di majalah SALAFY edisi 37/1421 H/2000 M halaman 11-14.

7. Posisi Masbuk dan Hukum Sholat di Belakang Ahlul Bid’ah, dimuat di majalah An Nashihah volume 01 Tahun 1/1422 H/2001 M halaman 2-7.

8. Doa Sujud Tilawah dan Sujud Sahwi, dimuat di majalah An Nashihah volume 01 Tahun 1/1422 H/2001 M halaman 7-9.

9. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Siapakah Mereka?, dimuat di majalah An Nashihah volume 01 Tahun 1/1422 H/2001 M halaman 10-18.

10. Menggerakkan Jari Telunjuk ketika Tasyahud, dimuat di majalah An Nashihah volume 01 Tahun 1/1422 H/2001 M halaman 27-39.

11. Siapakah Mahrammu?, dimuat di majalah An Nashihah volume 01 Tahun 1/1422 H/2001 M halaman 51-56.

12. Tinja dan Kencing, Najiskah?, dimuat di majalah An Nashihah volume 02 Tahun 1/1422 H/2001 M halaman 2-4.

13. Hakikat Dakwah Salafiyah, dimuat di majalah An Nashihah volume 02 Tahun 1/1422 H/2001 M halaman 5-14.

14. Fatwa Para Ulama Besar Menyikapi Terorisme, dimuat di majalah An Nashihah volume 03 Tahun 1/1422 H/2002 M halaman 2-20. (Artikel ini disusun sebagai bantahan ilmiah terhadap Ja’far Umar Thalib selaku Panglima Laskar Jihad saat itu yang mendukung peledakan gedung WTC di Amerika Serikat)

15. Pijakan Seorang Muslim di Tengah Gelombang Fitnah, dimuat di majalah An Nashihah volume 03 Tahun 1/1422 H/2002 M halaman 21-34.

16. Hukum Qunut Subuh, dimuat di majalah An Nashihah volume 03 Tahun 1/1422 H/2002 M halaman 59-64.

17. Haruskah Orang yang Khutbah yang Menjadi Imam?, dimuat di majalah An Nashihah volume 04 Tahun 1/1423 H/2002 M halaman 4-5.

18. Hadits Bithoqoh (Kartu), dimuat di majalah An Nashihah volume 04 Tahun 1/1423 H/2002 M halaman 6-8.

19. Seputar Air Madzi, dimuat di majalah An Nashihah volume 04 Tahun 1/1423 H/2002 M halaman 9.

20. Dokter Praktek, dimuat di majalah An Nashihah volume 04 Tahun 1/1423 H/2002 M halaman 10.

21. Ikhtilath ketika Bekerja, dimuat di majalah An Nashihah volume 04 Tahun 1/1423 H/2002 M halaman 11-12.

22. Hukum Nikah dalam Keadaan Hamil, dimuat di majalah An Nashihah volume 05 Tahun 1/1424 H/2004 M halaman 2-6.

23. Bacaan Dzikir Setelah Sholat, dimuat di majalah An Nashihah volume 05 Tahun 1/1424 H/2004 M halaman 10-12.

24. Seputar Sholat Tarawih, dimuat di majalah An Nashihah volume 05 Tahun 1/1424 H/2004 M halaman 13.

25. Lutut atau Tangankah yang Lebh Dulu Menyentuh Bumi ketika Sujud?, dimuat di majalah An Nashihah volume 05 Tahun 1/1424 H/2004 M halaman 49-52.

26. Syarah Bulughul Maram min Adillatil Ahkam (Bagian Pertama), dimuat di majalah An Nashihah volume 05 Tahun 1/1424 H/2004 M halaman 53-57.

27. Melihat Allah dalam Mimpi, Mungkinkah?, dimuat di majalah An Nashihah volume 06 Tahun 1/1424 H/2004 M halaman 2-4.

28. Cara Sholat Taubat, dimuat di majalah An Nashihah volume 06 Tahun 1/1424 H/2004 M halaman 5-6.

29. Studi Syar’i tentang Beberapa Muamalat Kekinian, dimuat di majalah An Nashihah volume 06 Tahun 1/1424 H/2004 M halaman 35-48.

30. Hadits-hadits Seputar Keutamaan Surat Yasin, dimuat di majalah An Nashihah volume 06 Tahun 1/1424 H/2004 M halaman 49-59.

31. Syarah Bulughul Maram min Adillatil Ahkam (Bagian Kedua), dimuat di majalah An Nashihah volume 06 Tahun 1/1424 H/2004 M halaman 60-67.

32. Mengambil Manfaat dari Sawah yang Digadaikan, dimuat di majalah An Nashihah volume 07 Tahun 1/1425 H/2004 M halaman 2-3.

33. Beberapa Masalah Berkaitan dengan Sholat Berjama’ah, dimuat di majalah An Nashihah volume 07 Tahun 1/1425 H/2004 M halaman 3-5.

34. Derajat Hadits Jihad Paling Besar adalah Melawan Hawa Nafsu, dimuat di majalah An Nashihah volume 07 Tahun 1/1425 H/2004 M halaman 5.

35. Kiat-kiat Menyambut Bulan Ramadhan yang Sarat Keutamaan, dimuat di majalah An Nashihah volume 07 Tahun 1/1425 H/2004 M halaman 13-18.

36. Panduan Puasa Ramadhan di Bawah Naungan Al Qur’an dan As Sunnah, dimuat di majalah An Nashihah volume 07 Tahun 1/1425 H/2004 M halaman 24-37.

37. Tuntunan Qiyamul Lail dan Sholat Tarawih, dimuat di majalah An Nashihah volume 07 Tahun 1/1425 H/2004 M halaman 38-53.

38. Syarah Bulughul Maram min Adillatil Ahkam (Bagian Ketiga), dimuat di majalah An Nashihah volume 07 Tahun 1/1425 H/2004 M halaman 59-64.

39. Studi Syar’i tentang Beberapa Muamalat Kekinian: Jual Beli dengan Cara Kredit, dimuat di majalah An Nashihah volume 08 Tahun 1/1425 H/2005 M halaman 40-49.

40. Hukum Menjaharkan Basmalah dalam Sholat Jahriyah, dimuat di majalah An Nashihah volume 08 Tahun 1/1425 H/2005 M halaman 50-52.

41. Syarah Bulughul Maram min Adillatil Ahkam (Bagian Keempat), dimuat di majalah An Nashihah volume 08 Tahun 1/1425 H/2005 M halaman 53-57.

42. Studi Syar’i tentang Beberapa Muamalat Kekinian: Beberapa Hukum Berkaitan dengan Undian, dimuat di majalah An Nashihah volume 09 Tahun 1/1426 H/2005 M halaman 39-40.

43. Syarah Bulughul Maram min Adillatil Ahkam (Bagian Kelima), dimuat di majalah An Nashihah volume 09 Tahun 1/1426 H/2005 M halaman 54-59.

44. Terorisme, Bahaya dan Solusinya, dimuat di majalah An Nashihah volume 10 Tahun 1/1427 H/2006 M halaman 17-33.

45. Mengenal Kesyirikan, Bahaya dan Bentuk-bentuknya (Bagian Pertama), dimuat di majalah An Nashihah volume 10 Tahun 1/1427 H/2006 M halaman 34-42.

46. Mengenal Kesyirikan, Bahaya dan Bentuk-bentuknya (Bagian Kedua), dimuat di majalah An Nashihah volume 11 Tahun 1/1427 H/2006 M halaman 33-35.

47. Hadits-hadits Seputar Bulan Sya’ban, dimuat di majalah An Nashihah volume 11 Tahun 1/1427 H/2006 M halaman 46-52.

48. Syarah Bulughul Maram min Adillatil Ahkam (Bagian Keenam), dimuat di majalah An Nashihah volume 11 Tahun 1/1427 H/2006 M halaman 53-58.

49. Hadits Doa di Padang Arafah, dimuat di majalah As Salaam No. IV Tahun II 2006 M/1426 H halaman 37-40.

50. Etika Syar’i bagi Perempuan dalam Menuntut Ilmu, dimuat di majalah An Nashihah volume 12 Tahun 1428 H/2007 M halaman 39-44.

51. Pentingnya Mengenal Al Asma’ Al Husna, dimuat di majalah An Nashihah volume 12 Tahun 1428 H/2007 M halaman 45-50.

52. Anjuran untuk Berdzikir dan Keutamaannya, dimuat di majalah An Nashihah volume 12 Tahun 1428 H/2007 M halaman 57-61.

53. Beberapa Kaidah Mengenal Al Asma’ Al Husna, dimuat di majalah An Nashihah volume 13 Tahun 1429 H/2008 M halaman 33-38.

54. Beberapa Hukum Seputar Ihdad, dimuat di majalah An Nashihah volume 13 Tahun 1429 H/2008 M halaman 55-62.

55. Hukum Multi Level Marketing, dimuat di majalah An Nashihah volume 13 Tahun 1429 H/2008 M halaman 12-14.

56. Tuntunan Praktis dalam Berqurban, dimuat di majalah An Nashihah volume 14 Tahun 1429 H/2008 M halaman 27-34.

57. Beberapa Hadits Berkaitan dengan Sepuluh hari Dzulhijjah dan Hari-hari Tasyriq, dimuat di majalah An Nashihah volume 14 Tahun 1429 H/2008 M halaman 35-44.

58. Agar Anda Terhindari dari Musibah, dimuat di majalah An Nashihah volume 14 Tahun 1429 H/2008 M halaman 45-48.

Url sumber : http://jihadbukankenistaan.com/tentang-penulis

Mengimani akan sifat Kedua Tangan Allah Taala

Penulis : Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed

Keimanan terhadap penetapan adanya Tangan bagi Allah merupakan keyakinan Ahlus Sunnah wal jama’ah, sebagaimana telah kami jelaskan pada edisi lalu. Keyakinan ini makin jelas dan tegas karena Al-Quran dan as-Sunnah telah menyebutkan adanya sifat Tangan bagi Allah secara terperinci dan disebutkan dengan kanan.

KEDUA TANGAN ALLAH ITU KANAN

Allah سبحانه وتعالى berfirman:

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ. ]الزمر: 67[

Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Rabb dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (az-Zumar: 67)

Demikian pula dalam firmanNya:

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ اْلأَقَاوِيل ِ]44[ َلأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ ]45[ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ. ]الحاقة: 44-46[

Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia dengan tangan kanan. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. (al-Haaqqah: 44-46)

Pada kedua ayat di atas Allah سبحانه وتعالى menyebutkan tangan dengan tangan kanan. Pada surat Az-Zumar Allah berfirman : “Dan langit digulung dengan Tangan Kanan-Nya”. Sedangkan dalam surat al-Haqqah dikatakan: “Aku ambil dengan dengan tangan kanan”.

Dalam tafsir ayat az-Zumar ayat 67 ini, disebutkan hadits yang shahih dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

يَقْبِضُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى اْلأَرْضَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِينِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ مُلُوكُ اْلأَرْضِ. (متفق عليه)

Allah Tabaraka wa ta’ala menggenggam bumi pada hari kiamat dan melipat langit dengan tangan kanannya, kemudian berkata “Aku adalah Raja, mana raja-raja dunia? (HR. Bukhari-Muslim).

Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Umar رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

يَطْوِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ؟ ثُمَّ يَطْوِي اْلأَرَضِينَ بِيَدِهِ اْلأُخْرَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ. (متفق عليه)

Allah Azza wa Jalla menggulung langit pada hari kiamat dan menggenggam-nya dengan tangan kanan-Nya seraya berkata: “Aku adalah Raja, mana orang-orang yang sombong?” Kemudian menggulung bumi-bumi dan menggenggamnya dengan tangannya yang lain seraya berkata: “Aku adalah Raja, mana raja-raja dunia, mana orang-orang yang sombong?” (HR. Bukhari Muslim)

Perlu diketahui, dalam hadits yang kedua ini disebutkan “tangan yang lain”, ini yang lebih shahih, sedangkan dalam lafadh lainnya disebutkan “dengan tangan kirinya”. Berkata Baihaqi dalam Asma’ wa Sifat: “Demikianlah diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Bakar ibnu Abi Syaibah, sedangkan sebutan “tangan kiri” disebutkan secara menyendiri oleh Umar Ibnu Hamzah dari Salim. Padahal telah diriwayatkan hadits yang sama oleh Nafi’ dan Ubaidullah Ibnu Muqsim dari Ibnu Umar, keduanya tidak menyebutkan kalimat “kiri”. Demikian pula telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan lain-lainnya dari Nabi صلى الله عليه وسلم, semuanya tidak ada yang menyebutkan “tangan kiri”. (Lihat Asma’ wa Sifat, Baihaqi, hal. 139-140)

Apalagi telah diriwayatkan dengan shahih bahwa kedua tangan Allah adalah kanan, sebagaimana dalam sabdanya:
إِنَّ الْمُقْسِطِيْنَ عِنْدَ اللهِ عَلَى مَنَابِرٍ مِنْ نُوْرٍ عَنْ يَمِيْنِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِيْنٌ..... (رواه مسلم)
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di sisi Allah (mereka berada) di atas mimbar dari cahaya dari sisi kanan Allah Azza wa Jalla. Dan Kedua Tangan Allah adalah Kanan … (HR. Muslim)
Yang demikian karena tangan Allah keduanya Maha Sempurna, tidak sama dengan tangan mahlukNya. Sedangkan istilah kiri mengandung makna kekurangan dan kelemahan pada mahluk, maka tidak layak disebutkan untuk tangan Allah yang Maha Sempurna.

JARI-JEMARI ALLAH

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Ash, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّ قُلُوْبَ بَنِى آدَمَ كُلًُّهَا بَيْنَ إٍصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَآءُ..
Sesungguhnya hati Bani Adam seluruhnya berada di antara dua jari dari jari ar-Rahman (Allah) seperti hati yang satu. Allah memalingkannya sekehendaknya. (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain Rasulullah صلى الله عليه وسلم membenarkan perkataan seorang Rahib Yahudi ketika menyebutkan jari-jemari bagi Allah, seperti dalam riwayat dari Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه, ia berkata:

جَاءَ حَبْرٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَوْ يَا أَبَا الْقَاسِمِ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى إِصْبَعٍ وَاْلأَرَضِينَ عَلَى إِصْبَعٍ وَالْجِبَالَ وَالشَّجَرَ عَلَى إِصْبَعٍ وَالْمَاءَ وَالثَّرَى عَلَى إِصْبَعٍ وَسَائِرَ الْخَلْقِ عَلَى إِصْبَعٍ ثُمَّ يَهُزُّهُنَّ فَيَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَنَا الْمَلِكُ فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعَجُّبًا مِمَّا قَالَ الْحَبْرُ تَصْدِيقًا لَهُ ثُمَّ قَرَأَ ))وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَاْلأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ(((متفق عليه)

Seorang pendeta datang berjumpa Nabi صلى الله عليه وسلم lalu berkata: Wahai Muhammad atau Wahai Abu al-Qasim! Pada Hari Kiamat Allah سبحانه وتعالى memegang langit, bumi, gunung-gunung, pohon-pohon, air, tanah dan semua makhluk dengan jari-jemariNya. Kemudian Dia menggoyangkannya sambil berfirman: “Akulah Raja, Akulah Raja”. Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم tertawa karena kagum mendengar kata-kata pendeta tersebut sambil membenarkannya. Kemudian beliau membaca ayat :

((وَ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَاْلأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِيْنِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ)).

Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Rabb dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (HR. Bukhari Muslim)
Dan dalam riwayat lain:

جَاءَ حَبَرٌ مِنَ الْيَهُوْدِ فَقَالَ: يَضَعُ السَّمَوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى إِصْبَعٍ وَقَالَ تَعَجُّبًا لَهُ تَصْدِيْقًا لَهُ. (رواه البخاري ومسلم)

Datang seorang rahib dari Yahudi dan berkata: “Allah meletakkan langit-langit di jari-Nya pada hari kiamat”, maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم pun terkagum-kagum membenarkan berita tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)

TELAPAK TANGAN ALLAH

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَا تَصَدَّقَ أَحَدٌ بِصَدَقَةٍ مِنْ طَيِّبٍ -وَلاَ يَقْبَلُ اللهُ إِلاَّ الطَّيِّبَ- إِلاَّ أَخَذَهَا الرَّحْمَنُ بِيَمِيْنِهِ وَإِنْ كَانَتْ تَمْرَةً فَتَرِبُوْ فِيْ كَفِّ الرَّحْمَنِ حَتَّى تَكُوْنَ أَعْظَمٌ مِنَ الْجَبَلِ كَمَا يُرَبِّيُّ أَحَدُكُمْ فَلْوَهُ أَوْ فَصِيْلَهُ. (رواه مسلم)

Tidaklah seseorang bershadaqah dengan shadaqah yang baik –dan Allah tidak menerima kecuali yang baik—kecuali Allah yang Maha Rahman akan mengambilnya dengan Tangan kanan-Nya, walaupun sebuah kurma, Allah akan membesarkannya di Telapak Tangan Allah yang Maha Rahman hingga menjadi lebih besar dari gunungو sebagaimana salah seorang kalian membesarkan anak kambing atau anak unta. (HR. Bukhari dan Muslim)

LENGAN ALLAH

Didalam riwayat yang agak panjang, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
هَلْ تَنْتَجُ اِبِلُ قَوْمِكَ صِحَاحًا آذَانُهَا فَتَعَمَّدَ إِلَى بَعْضِهَا فَتَقَطَّعَ آذَانَهَا وَتَقُوْلُ هِيَ بِحُرٍّ وَتَشُقَّهَا أَوْ تَشُقَّ جُلُوْدَهَا وَتَقُوْلُ هِيِ حَرَامٌ فَتَحْرِمُهَا عَلَيْكَ وَعَلَى أَهْلِكَ؟ قَالَ: نَعَم. قَالَ: فَكُلُّ مَا آتَاكَ اللهُ حِلٌّ وَسَاعِدُ اللهِ أَشَدُّ مِنْ سَاعِدِكَ وَمُوْسَى اللهِ أَحَدٌ مِنْ مُوْسَاكَ. (رواه أحمد والحاكم وأبو داود والطبراني والبيهقي والترمذي وقال: حديث حسن)

Apakah unta-unta kaummu yang lahir dalam keadaan sehat dan utuh telinga-telinganya kemudian kamu dengan sengaja mengambil pisau dan memotong telinga-telinganya dan kamu katakan unta-unta ini merdeka?!. Dan kamu robek telinga-telinganya atau kamu cacati kulit-kulitnya, kemudian kamu katakan unta-unta ini haram? Kemudian kamu haramkan untuk dirimu dan keluargamu?! Dia menjawab: “Ya”. Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Sungguh seluruh apa yang diberikan Allah kepadamu (dari binatang ternak itu) adalah halal. Ingat Lengan Allah lebih kuat dari lenganmu dan Pisau Allah lebih tajam dari pisaumu.” (HR. Ahmad, Hakim, Abu Dawud, Baihaqi, Thabrani dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata: “Hadits Hasan Shahih). Lihat Tahqiq Kitab Asma’ wa Sifat oleh Al-Baihaqi, hal. 170).

SIKAP AHLUS SUNNAH TERHADAP RIWAYAT-RIWAYAT DIATAS

Berkata Sufyan Ibnu Uyainah:

كُلُّ مَا وَصَفَ اللهُ بِهِ نَفْسُهُ فِي كِتَابِهِ فََتَفْسِيْرُهُ تِلاَوَتُهُ وَالسُّكُوْتُ عَنْهُ.

Setiap apa yang Allah sifati diri-Nya dalam kitab-Nya maka tafsirnya adalah membacanya dan diam. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 248)

Berkata Ibnu Syihab Az-Zuhri:

عَلَى اللهِ الْبَيَانُ وَعَلَى الرَّسُوْلِ الْبَلاَغُ وَعَلَيْنَا التَّسْلِيْمُ.

Allah yang menerangkan, rasul yang menyampaikan dan atas kita untuk menerima. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 249)

Berkata Wahb bin Munabbih ketika ditanya oleh seorang tokoh sesat Ja’d bin Dirham tentang asma’ wa sifat:

وَيْلَكَ يَا جَعْدُ بَعْضُ الْمَسْأَلَةِ إِنِّي َلأَظُنًّكَ مِنَ الْهَالِكِيْنَ. يَا جَعْدُ لُوْ لَمْ يُخْبِرْنَا اللهُ فِي كِتَابِهِ أَنَّ لَهُ يَدًّا وَعَيْنًا وَوَجْهًا لمََا قُلْنَا ذَلِكَ فَاتَّقِ اللهَ.

Celaka engkau wahai Ja’d karena permasalahan ini. Sungguh aku menduga engkau akan binasa. Wahai Ja’d, kalau saja Allah tidak mengkabarkan dalam kitab-Nya bahwa dia memiliki tangan, mata atau wajah, tentu kamipun tidak akan mengatakannya.Bertakwalah engkau kepada Allah!” (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 190)

Berkata al-Walid ibnu Muslim: “Aku telah bertanya kepada AlAuza’I, Sufyan Ats-tsauri, Malik bin Anas tentang hadits-hadits sifat dan ru’yah (tentang dilihatnya Allah pada hari kiamat), mereka semua menjawab:

أَمَرُّوْهَا كَمَا جَاءَتْ بِلاَ كَيْفٍ.

Langsungkanlah, sebagaimana adanya tanpa mempertanyakan seperti apa”. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 249)

Berkata Imam Malik bin Anas: “Berhati-hatilah kalian terhadap kebid’ahan.” Beliau ditanya: “Apakah bid’ah itu”. Beliau menjawab: “Ahlul bid’ah adalah mereka yang membicarakan tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, kalam Allah, Ilmu Allah dan kekuasan-Nya tanpa ilmu. Mereka tidak mau diam sebagaimana diamnya para shahabat dan tabi’in terhadap masalah tersebut”. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 244)

Berkata Imam Al-Barbahari: “Tidak boleh berbicara tentang Allah kecuali dengan apa Allah sifatkan diriNya dengannya dalam al-Qur’an dan apa yang diterangkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada para shahabatnya”.
Ia juga berkata: “Tidak berbicara tentang sifat-sifat Rabb dengan pertanyaan: “Bagaimana?” atau “mengapa?”, kecuali orang yang ragu terhadap Allah tabaraka wa ta’ala”. (Syarhus Sunnah, hal. 70)

(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 44/Th. II 19 Dzulqo’dah 1425 H/31 Desember 2004 M, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli "Kedua Tangan Allah Kanan". Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp di bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief Subekti, Agus Rudiyanto, Zaenal Arifin; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Arif Subekti telp. (0231) 481215.)

Rabu, 18 Juni 2014

Doa Jumat Terakhir Di Bulan Rojab

Akhir Bulan Rajab 2014 – Hari terakhir bulan rojab 2014 ini insyaAllah jatuh pada hari Kamis, 29 Mei 2014. Artinya ketika saya buat postingan ini tanggal 28 Mei, tinggal satu hari lagi tersisa bulan rajab 2014. Sayang sekali kita tidak menemui lagi hari Jum’at terakhir di bulan rajab. Karena ada doa khusus yang biasa dibaca di Jumat terakhir bulan rajab.

Doa Jumat Terakhir Di Bulan Rojab

Namun begitu kita tetap harus muhasabah (instrospeksi diri), apa yang sudah kita lakukan pada Bulan Rajab kali ini? Sudahkan kita memanfaatkan berbagai fadhilah yang terkandung di dalam bulan Rajab ini? Andaikan belum bersegeralah, masih tersisa 1 hari sebelum kita memasuki bulan Syaban mendatang, dan banyak sekali macam ibadah yang mengandung berbagai anugrah, diantaranya adalah memperbanyak bacaan shalawat kepada Nabi Agung Muhammad saw.

 Mengenai keutamaan ini Rasulullah saw sendiri meriwayatkan sebuah hadist:

روى عن النى صلى الله عليع وسلم انه قال: "رأيت ليلة المعراج نهراً ماءه أحلى من العسل وأرد من الثلج وأطي من المسك ,فقلت لجرايل لمن هذا قال: لمن صلى عليك فى رج "

Bahwa Rasulullah saw bersabda: Pada malam miraj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: "Wahai Jibril untuk siapakah sungai ini ?"Maka berkata Jibrilb a.s.: "Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajab.

Kembali ke doa di jumat akhir bulan Rajab, mungkin bisa kita gunakan untuk Rajab yang akan datang. Diriwayatkan, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi ra memberikan ijazah kepada Habib Umar bin Muhammad Maulakhela untuk membaca:

أَحْمَدُ رَسُوْلُ اللهِ مُحمدٌ رسولُ اللهِ

 Ahmadur rosuulullooh Muhammadur rosulullooh
(Artinya: Ahmad adalah Rasulullah. Muhammad adalah Rasulullah) sebanyak 35 kali di hari Jumat terakhir bulan Rajab ketika khotib sedang duduk di antara 2 khutbah (berkhutbah).
Beliau ra berkata, “Barang siapa membaca kalimat di atas pada Jumat terakhir bulan Rajab, ketika khotib sedang duduk di antara 2 khutbah (berkhutbah), maka selama setahun tangannya tidak akan pernah kosong dari rezeki.”


Demikian sedikit informasi tentang salah satu keutamaan bulan Rajab yaitu dengan mengisinya dengan berdoa di Jumat terakhir di bulan rajab. Namun akhir bulan Rajab 2014 ini sudah tidak ketemu jumat lagi. Insya Allah tahun depan kita akan mengingatkan lagi.

Audio Daurah Islamiyah “Mengenal Keindahan Aqidah Islam” – Sidrap



Alhamdulillah, berikut kami hadirkan tautan untuk mengunduh rekaman Daurah Islamiyyah dengan tema “Mengenal Keindahan Aqidah Islam” diambil dari Uraian Kitab Syarhus Sunnah Imam Al-Humaidy -rahimahullah- yang dilaksanakan pada Sabtu 8 Dzulqa’dah 1434/14 September 2013 di Masjid Agung Kabupaten Sidrap. Semoga bermanfaat.

Sumber : Dzulqarnain.Net

Selasa, 17 Juni 2014

ZIARAH KUBUR

Penulis: Al Ustadz Abu ‘Abdillah Mustamin Musaruddin

Pertanyaan :

Pada bulan-bulan tertentu seperti pada bulan Rajab, Sya’ban dan Syawal sering terlihat orang-orang ramai melakukan ziarah kubur, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda dan sebagian mereka membawa air dan kembang untuk ditaburkan ke kuburan yang diziarahi. Fenomena ini mengundang pertanyaan dibenak saya di dalam beberapa hal yaitu sebagai berikut :

Apa hukumnya berziarah kubur ?
Apa ada waktu-waktu khusus dan hari-hari tertentu yang afdhal untuk berziarah ?
Apakah ziarah kubur itu mempunyai manfaat ?
Bagaimana sebenarnya tata cara berziarah kubur yang syar’i ?
Apakah ada hal-hal yang terlarang sehubungan dengan ziarah kubur tersebut ?
Jawaban :

1. Hukum Ziarah kubur

Berziarah kubur adalah sesuatu yang disyari’atkan di dalam agama berdasarkan (dengan dalil) hadits-hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan ijma’ (kesepakatan).

a) Dalil dari hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :

Dalil-dalil dari hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tentang disyari’atkannya ziarah kubur diantaranya :

1. Hadits Buraidah bin Al-Hushoib radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam beliau bersabda :

إِنِّيْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
”Sesungguhnya aku pernah melarang kalian untuk menziarahi kubur, maka (sekarang) ziarahilah kuburan”. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim (3/65 dan 6/82) dan oleh Imam Abu Daud (2/72 dan 131) dengan tambahan lafazh :

فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ

“Sebab ziarah kubur itu akan mengingatkan pada hari akhirat”.

Dan dari jalan Abu Daud hadits ini juga diriwayatkan maknanya oleh Imam Al-Baihaqy (4/77), Imam An-Nasa`i (1/285 –286 dan 2/329-330), dan Imam Ahmad (5/350, 355-356 dan 361).

2. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, yang semakna dengan hadits Buraidah. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 3/38,63 dan 66 dan Al-Hakim 1/374-375 dan Al-Baihaqy (4/77) dari jalan Al-Hakim.

3. Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang juga semakna dengan hadits Buraidah dikeluarkan oleh Al-Hakim 1/376.

b. Ijma’

Adapun Ijma’ diriwayatkan (dihikayatkan) oleh :

1. Al-‘Abdary sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawy dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab (5/285).

2. Al-Imam Muwaffaquddin Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdasy Al-Hambaly (541-620 H) dalam kitab Al-Mughny (3/517).

3. Al-Hazimy sebagaimana disebutkan oleh Imam Asy-Syaukany dalam kitab Nailul Authar (4/119).

Batasan disyari’atkannya ziarah kubur.

Syariat yang telah disebutkan di atas tentang ziarah kubur adalah disunnahkan bagi laki-laki berdasarkan dalil-dalil dari hadits-hadits maupun hikayat ijma’ tersebut di atas. Adapun bagi wanita maka hukumnya adalah mubah (boleh), makruh bahkan sampai kepada haram bagi sebagian wanita.

Perbedaan hukum antara laki-laki dan wanita dalam masalah ziarah kubur ini disebabkan oleh adanya hadits yang menunjukkan larangan ziarah kubur bagi wanita :

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَائِرَاتِ الْقُبُوْرِ

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melaknat wanita-wanita peziarah kubur””.

Hadits ini diriwayatkan Ibnu Hibban di dalam Shohihnya sebagaimana dalam Al-Ihsan no.3178.

Dan mempunyai syawahidnya (pendukung-pendukungnya) diriwayatkan oleh beberapa orang Shahabat diantaranya :

Ø Hadits Hassan bin Tsabit dikeluarkan oleh Ahmad 3/242, Ibnu Abi Syaibah 4/141, Ibnu Majah 1/478, Al-Hakim 1/374, Al-Baihaqy dan Al-Bushiry di dalam kitabnya Az-Zawa`id dan dia berkata isnadnya shohih dan rijalnya tsiqot.

Ø Hadits Ibnu ‘Abbas : Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ashhabus Sunan Al-Arba’ah (Abu Daud, An-Nasa`i, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah), Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqy.

Catatan :

Hadits dengan lafazh seperti di atas زَائِرَاتِ menunjukkan pengharaman ziarah kubur bagi wanita secara umum tanpa ada pengecualian.

Akan tetapi ada lafazh lain dari hadits ini, yaitu :

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ زُوَّارَاتِ الْقُبُوْرِ. وَ فِيْ لَفْظٍ : لَعَنَ اللهُ

“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam )dalam lafazh yang lain Allah subhanahu wa ta’ala) melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah kubur”.

Lafazh زُوَّارَاتِ (wanita yang banyak berziarah) menjadi dalil bagi sebagian ‘ulama untuk menunjukkan bahwa berziarah kubur bagi wanita tidaklah terlarang secara mutlak (haram) akan tetapi terlarang bagi wanita untuk sering melakukan ziarah kubur.

Sebagian dari perkataan para ‘ulama tentang ziarah kubur bagi wanita

a) Yang mengatakan terlarangnya ziarah kubur bagi wanita.

- Berkata Imam An-Nawawy Asy-Syafi’iy : “Nash-nash Imam Asy-Syafi’iy dan Al-Ashhab (pengikut Madzhab Syafi’iyyah) telah sepakat bahwa ziarah kubur disunnahkan bagi laki-laki”. (Al-Majmu’ 5/285).

Perkataannya : “Disunnahkan bagi laki-laki” mempunyai pengertian bahwa bagi wanita tidak disunnahkan.

- Berkata Imam Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah Al-Maqdasy Al-Hambaly : “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan dikalangan Ahlul ‘Ilmi tentang bolehnya laki-laki berziarah kubur”. Lihat Al-Mughny 3/517.

Perkataannya : “Bolehnya laki-laki berziarah kubur” memiliki pengertian bahwa bagi wanita belum tentu boleh atau tidak boleh sama sekali.

- Berkata Al-Imam Muhammad bin Muhammad Al-Abdary Al-Malikiy, terkenal dengan nama kunyahnya “Ibnul Hajj” : “Dan seharusnya (selayaknya) baginya (laki-laki) untuk melarang wanita-wanita untuk keluar ke kuburan meskipun wanita-wanita tersebut memiliki mayat (karena si mayat adalah keluarga atau kerabatnya) sebab As-Sunnah telah menghukumi/menetapkan bahwa mereka (para wanita) tidak diperkenankan untuk keluar rumah”. Lihat : Madkhal As-Syar‘u Asy-syarif 1/250.

- Berkata : Abu An-Naja Musa bin Ahmad Al-Maqdasy Al-Hambaly (pengarang Zadul Mustaqni’) : “Disunnahkan ziarah kubur kecuali bagi wanita”. Lihat : Kitab Hasyiah Ar-Raudhul Murbi’ Syarah Zadul Mustaqni’ 3/144-145.

- Berkata Al-Imam Mar’iy bin Yusuf Al-Karmy : “Dan disunnahkan berziarah kubur bagi laki-laki dan dibenci (makruh) bagi wanita”. Lihat : Kitab Manar As-Sabil Fii Syarh Ad-Dalil 1/235).

- Berkata Syaikh Ibrahim Dhuwaiyyan : “Minimal hukumnya adalah makruh”.

- Berkata Syaikh Doktor Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan : “Dan ziarah itu disyariatkan bagi laki-laki, adapun wanita diharamkan bagi mereka berziarah kubur”. Lihat : Al-Muntaqo Min Fatawa Syaikh Sholeh Al-Fauzan.

b. Yang menyatakan bolehnya ziarah kubur bagi wanita :

- Imam Al-Bukhary, dimana beliau meriwayatkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu : “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melewati seorang wanita yang sedang berada di sebuah kuburan, sambil menangis. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata padanya : “Bertaqwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah”. Maka berkata wanita itu : “Menjauhlah dariku, engkau belum pernah tertimpa musibah seperti yang menimpaku”, dan wanita itu belum mengenal Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, lalu disampaikan padanya bahwa dia itu adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, ketika itu ditimpa perasaan seperti akan mati (karena merasa takut dan bersalah-ed.). Kemudian wanita itu mendatangi pintu (rumah) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan dia tidak menemukan penjaga-penjaga pintu maka wanita itu berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku (pada waktu itu) belum mengenalmu, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata : “Sesungguhnya yang dinamakan sabar itu adalah ketika (bersabar) pada pukulan (benturan) pertama”.

Al-Bukhary memberi terjemah (judul bab) untuk hadits ini dengan judul “Bab tentang ziarah kubur” yang mana ini menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara laki-laki dan wanita dalam berziarah kubur. Lihat : Shohih Al-Bukhary 3/110-116.

- Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany menerangkan hadits di atas dalam Fathul Bary katanya : “Dan letak pendalilan dari hadits ini adalah bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak mengingkari duduknya (keberadaan) wanita tersebut di kuburan. Dan taqrir Nabi (pembolehan) adalah hujjah.

- Berkata Al-‘Ainy : “Dan pada hadits ini terdapat petunjuk tentang bolehnya berziarah kubur secara mutlak, baik peziarahnya laki-laki maupun wanita dan yang diziarahi (penghuni kubur) muslim atau kafir karena tidak adanya pembedaan padanya”. (Lihat : Umdatul Qory 3/76)

- Al-Imam Al-Qurthuby berkata : “Laknat yang disebutkan di dalam hadits adalah bagi wanita-wanita yang memperbanyak ziarah karena bentuk lafazhnya menunjukkan “mubalaghah” (berlebih-lebihan). Dan sebabnya mungkin karena hal itu akan membawa wanita kepada penyelewengan hak suami dan berhias diri dan akan munculnya teriakan, erangan, raungan dan semisalnya. Dan dikatakan jika semua hal tersebut aman (dari terjadinya) maka tidak ada yang bisa mencegah untuk memberikan izin kepada para wanita, sebab mengingat mati diperlukan oleh laki-laki maupun wanita”. (Lihat : Jami’ Ahkamul Qur`an).

- Berkata Al-Imam Asy-Syaukany : “Dan perkataan (pendapat) ini adalah yang pantas untuk pegangan dalam mengkompromikan antara hadits-hadits bab yang saling bertentangan pada lahirnya”. Lihat : Nailul Authar 4/121.

- Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany : “Dan wanita seperti laki-laki dalam hal disunnahkannya ziarah kubur”. Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan empat alasan yang sangat kuat dalam menunjukkan hal tersebut di atas. Setelah itu beliau berkata : “Akan tetapi tidak dibolehkan bagi mereka (para wanita) untuk memperbanyak ziarah kubur dan bolak-balik ke kuburan sebab hal ini akan membawa mereka untuk melakukan penyelisihan terhadap syariat seperti meraung, memamerkan perhiasan/kecantikan, menjadikan kuburan sebagai tempat tamasya dan menghabiskan waktu dengan obrolan kosong (tidak berguna), sebagaimana terlihatnya hal tersebut dewasa ini pada sebagian negeri-negeri Islam, dan inilah maksud Insya Allah dari hadits masyhur :

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ (وَفِيْ لَفْظٍ : لَعَنَ اللهُ) زَوَّارَاتِ الْقُبُوْرِ

“Rasulullah shollallahu alaihi wa alihi wa sallam (dalam sebuah lafadz Allah melaknat) wanita-wanita yang banyak berziarah kubur”.(Sunan Al-Baihaqy 4/6996, Sunan Ibnu Majah no.1574, Musnad Ahmad 2/8430, 8655).

Lihat : Kitab Ahkamul Janaiz karya Syaikh Al-Albany 229-237.

Kesimpulan penulis :

Wanita tidak dianjurkan untuk berziarah kubur, karena ditakutkan akan terjadi padanya hal-hal yang bertentangan dengan syari’at disebabkan karena kelemahan hati wanita dan karena perbuatannya, seperti akan terjadinya teriakan atau raungan ketika menangis/sedih, tabarruj (berhias), ikhtilath (bercampur baur dengan laki-laki) dan hal-hal lain yang sejenis. Itulah sebabnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang sering melakukan ziarah kubur karena banyaknya (seringnya) berziarah kubur tersebut akan mengantarkannya kepada penyelisihan/penyelewengan terhadap syari’at. Akan tetapi jika seorang wanita kebetulan melewati kuburan atau berada di kuburan karena kebetulan (tanpa sengaja) seperti yang terjadi pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika mengikuti Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ke pekuburan Baqi’, maka pada waktu itu keadannya seperti laki-laki dalam hal bolehnya wanita tersebut berziarah, dengan memberi salam dan mendo’akan para penghuni kubur.

Berkata Syaikh Ibrahim Duwaiyyan : “Jika seorang wanita yang sedang berjalan melewati suatu kuburan di jalannya dia memberi salam dan mendo’akan penghuni kubur (mayat) maka hal ini baik (tidak mengapa) sebab wanita tersebut tidak sengaja keluar untuk ke pekuburan”. Lihat : Manar As-Sabil Fi Syarh Ad-Dalil. Wallahu A’lam Bis Showab.

Hikmah dilarangnya para wanita memperbanyak (sering) berziarah

Diantara hikmah tersebut :

1. Karena ziarah dapat membawa kepada penyelewengan hak-hak suami akan keluarnya para wanita dengan berhias lalu dilihat orang lain dan tak jarang ziarah tersebut disertai dengan raungan ketika menangis. Hal ini disebutkan oleh Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Authar 4/121.

2. Karena para wanita memiliki kelemahan/kelembekan dan tidak memiliki kesabaran maka ditakutkan ziarah mereka akan mengantarkan kepada perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang akan mengeluarkan mereka dari keadaan sabar yang wajib. Hal ini disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassam dalam kitab Taudhihul Ahkam 2/563-564.

3. Sebab wanita sedikit kesabarannya, maka tidaklah dia aman dari gejolak kesedihannya ketika melihat kuburan orang-orang yang dicintainya, dan ini akan membawa dia pada perbuatan-perbuatan yang tidak halal baginya, berbeda dengan laki-laki. Disebutkan oleh Syaikh Ibrahim Duwaiyyan menukil dari kitab Al-Kafi. Lihat : Manar As-Sabil Fii Syarh Ad-Dalil 1/236.

4. Berkata Imam Ibnul Hajj rahimahullah setelah menyebutkan 3 pendapat ulama tentang boleh tidaknya berziarah kubur bagi wanita : “Dan ketahuilah bahwa perselisihan pendapat para ‘ulama yang telah disebutkan adalah dengan kondisi wanita pada waktu itu (zamannya para ‘ulama salaf sebelum Ibnul Hajj yang wafat pada thn 732 H), maka mereka sebagaimana diketahui dari kebiasaan mereka yang mengikuti sunnah, sebagaimana telah lalu (tentang hal itu). Adapun keluarnya mereka (para wanita untuk berziarah) pada zaman ini (zaman Ibnul Hajj), maka kami berlindung kepada Allah dari kemungkinan adanya seorang dari ‘ulama atau dari kalangan orang-orang yang memiliki muru`ah (kehormatan dan harga diri) atau cemburu (kepedulian) terhadap agamanya yang akan membolehkan hal ini. Jika terjadi keadaan darurat (yang mendesak) baginya untuk keluar maka hendaknya berdasarkan hal-hal yang telah diketahui dalam syari’at berupa menutup aurat sebagaimana yang telah lalu (pembahasannya) bukan sebagaimana adat mereka yang tercela pada masa ini. Lihatlah mudah-mudahan Allah subhanahu wa taala merahmati kami dan merahmatimu. Lihatlah mafsadah (kerusakan) ini yang telah dilemparkan oleh syaithan kepada sebagian mereka (para wanita) didalam membangun (menyusun) tingkatan-tingkatan kerusakan ini di kuburan (Madkhal Asy-Syar’u Asy-Syarif 1/251).

ADAKAH WAKTU-WAKTU TERTENTU (KHUSUS) UNTUK BERZIARAH ?

Ziarah Kubur dapat dilakukan kapan saja, tidak ada waktu yang khusus dan tidak boleh (tidak layak) dikhususkan untuk itu, baik pada bulan sya’ban, syawal maupun waktu-waktu yang lainnya. Hal ini karena tidak adanya dalil yang menunjukkan tentang adanya waktu khusus atau afdhal (paling baik) untuk berziarah kubur.

Ketika Syaikh Doktor Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan ditanya tentang waktu/hari yang afdhal untuk berziarah, beliau berkata : “Tidak ada waktu khusus dan tidak ada waktu tertentu untuk berziarah kubur”. Lihat Al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Sholih Al-Fauzan : 2/166.

FAIDAH ZIARAH KUBUR

a. Bagi yang berziarah

Faidah yang bisa dipetik dan hasil yang akan didapatkan oleh orang yang berziarah kubur, antara lain :

1. Memberikan nasehat bagi dirinya.

2. Mengingatkannya kepada kematian, balasan dan hari kiamat.

3. Menambahkan kebaikan baginya.

4. Mengambil pelajaran.

5. Melunakkan (melembutkan) hati.

6. Menjadikannya zuhud terhadap dunia dan tamak terhadap kebaikan hari akhirat.

Semua hal tersebut di atas ditunjukkan oleh hadits-hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :

إِنِّيْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِيَارَتُهَاخَيْرًا

“Sesungguhnya aku pernah melarang kalian dari berziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kubur sebab ziarah itu akan mengingatkan kalian terhadap hari akhirat dan akan menambah kebaikan pada diri kalian”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Buraidah bin Al-Hushoib (5/350, 355, 356 dan 361).

Dalam riwayat yang lain dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu :

فَإِنَّ فِيْهَا عِبْرَةً

“Sesungguhnya pada ziarah itu terdapat pelajaran”.

Diriwayatkan oleh : Ahmad (3/38, 63, 66), Al-Hakim (1/374-375) dan Al-Baihaqy (4/77) dari jalan Al-Hakim.

Dalam riwayat yang lain dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu :

فَإِنَّهَا يُرِقُّ الْقَلْبَ وَتَدْمَعُ الْعَيْنُ وَتُذِكَّرُ الْآخِرَةَ

“Sesungguhnya ziarah itu akan melunakkan hati, mengundang air mata dan mengingatkan pada hari kiamat”. Diriwayatkan oleh Al-Hakim (1/376).

b) Bagi Penghuni Kubur

Penghuni kubur akan mendapatkan manfaat dari ziarah kubur dengan adanya salam yang ditujukan padanya yang isinya adalah permohonan keselamatan baginya, permohonan ampunan dan rahmat baginya. Semua hal ini hanya bisa didapatkan oleh seorang muslim. (Disebutkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ahkamul Janaiz : 239).

Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullahu ta’ala :

“Pasal : Tentang Petunjuk Nabi shollallahu alaihi wa alihi wa sallam dalam ziarah kubur : Adalah beliau shollallahu alaihi wa alihi wa sallam jika menziarahi kubur para shahabatnya beliau menziarahinya untuk mendo’akan mereka dan memintakan rahmat dan pengampunan bagi mereka. Inilah bentuk ziarah yang disunnahkan bagi ummatnya dan beliau syari’atkan untuk mereka dan memerintahkan mereka jika menziarahi kuburan untuk mengatakan :

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian, kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian”. (Disebutkan dalam Kitab Zadul Ma’ad karya Ibnul Qoyyim).

APA YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN OLEH PEZIARAH KUBUR/(TATA CARA) ZIARAH

Yang dilakukan oleh seorang peziarah adalah :

1. Memberi salam kepada penghuni kubur (muslimin) dan mendo’akan kebaikan bagi mereka. Diantara do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kepada ummatnya yang berziarah kubur :

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

Artinya : “Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim 975, An-Nasa`i 4/94, Ahmad 5/353, 359, 360.

اَلسَّلاَمُ عَلَى أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنِ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ

“Keselamatan atas penghuni kubur dari kaum mu’minin dan muslimin mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang terdahulu dari kita dan orang-orang belakangan dan kami Insya Allah akan menyusul kalian”.

2. Tidak berjalan di atas kuburan dengan mengenakan sandal. Hal ini berdasarkan hadits Basyir bin Khashoshiah :

بَيْنَمَا هُوَ يَمْشِيْ إِذْ حَانَتْ مِنْهُ نَظَرَةٌ فَإِذَا رَجُلٌ يَمْشِيْ بَيْنَ الْقُبُوْرِ عَلَيْهِ نَعْلاَنِ فَقَالَ يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ فَنَظَرَ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَرَمَى بِهِمَا

“Ketika Rasulullah shollallahu alaihi wa alihi wa sallam sedang berjalan, tiba-tiba beliau memandang seorang laki-laki yang berjalan diantara kubur dengan mengenakan sandal, maka Rasulullah shollallahu alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Wahai pemilik (yang memakai) sandal celakalah engkau lepaskanlah sandalmu”. Maka orang itu memandang tatkala ia mengetahui Rasulullah shollallahu alaihi wa alihi wa sallam ia melepaskan kedua sandalnya dan melemparkannya. Diriwayatkan oleh Abu Daud 2/72, An-Nasa`i 1/288, Ibnu Majah 1/474, Al-Hakim 1/373 dan dia berkata : “Sanadnya shohih”, dan disepakati oleh Adz-Dzahaby dan dikuatkan (diakui) oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bary 3/160).

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar : “Hadits ini menunjukkan makruhnya berjalan diantara kuburan dengan sandal” (Fathul Bary 3/160). Berkata Syaikh Al-Albany : “Hadits ini menunjukkan makruhnya berjalan di atas kuburan dengan memakai sandal. Lihat Ahkamul Janaiz 252).

3. Tidak duduk atau bersandar pada kuburan.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Marbad radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :

لاَ تَجْلِسُوْا عَلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تُصَلُّوا إِلَيْهَا

“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan melakukan shalat padanya”. Dikeluarkan oleh Imam Muslim 2/228.

Dan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

لَأَنْ يَجْلِسَ أَحُدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

“Seandainya salah seorang dari kalian duduk di atas bara api hingga (bara api itu) membakar pakaiannya sampai mengenai kulitnya itu adalah lebih baik daripada dia duduk di atas kuburan”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

4. Dibolehkan bagi peziarah untuk mengangkat tangannya ketika berdo’a untuk penghuni kubur, berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam keluar pada suatu malam, maka aku (‘Aisyah) mengutus Barirah untuk membuntuti kemana saja beliau (Rasulullah) pergi, maka Rasulullah mengambil jalan ke arah Baqi’ Al-Garqad kemudian beliau berdiri pada sisi yang terdekat dari Baqi’ lalu beliau mengangkat tangannya, setelah itu beliau pulang, maka kembalilah Barirah kepadaku dan mengabariku (apa yang dilihatnya). Maka pada pagi hari aku bertanya dan berkata :

Wahai Rasulullah keluar kemana engkau semalam ? Beliau berkata : “Aku diutus kepada penghuni Baqi’ untuk mendo’akan mereka. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6/92) dan sebelumnya oleh Imam Malik pada kitabnya (Al-Muwatho` (1/239-240)).

5. Berkata ‘Abdullah Al-Bassam : “Tidaklah pantas bagi seseorang yang berada dipekuburan, baik dia bermaksud berziarah atau hanya secara kebetulan untuk berada dalam keadaan bergembira dan senang seakan-akan dia berada pada suatu pesta, seharusnya dia ikut hanyut atau memperlihatkan perasaan ikut hanyut dihadapan keluarga mayat”. (Lihat Taudhihul Ahkam 2/564).

6. Menghadap ke kuburan ketika memberi salam kepada penghuni kubur.

Hal ini diambil dari hadits-hadits yang lalu tentang cara memberi salam pada penghuni kubur.

7. Ketika mendo’akan penghuni kubur tidak menghadap kekuburan melainkan menghadap kiblat. Sebab Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melarang ummatnya shalat menghadap kubur dan karena do’a adalah intinya ibadah, sebagaimana sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”.

Diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzy (4/178,223) dan Ibnu Majah (2/428-429).

HAL-HAL YANG DIHARAMKAN DALAM ZIARAH KUBUR.

Macam-macam Ziarah Kubur dan Hal-hal yang diharamkan dalam dalam Ziarah Kubur.


Hal ini telah disebutkan oleh Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassam dalam Kitab Taudhihul Ahkam (2/562-563), bahwa keadaan seorang yang berziarah ada empat jenis, yaitu :

1) Mendo’akan para penghuni kubur dengan cara memohon kepada Allah subhanahu wa taala pengampunan dan rahmat bagi para penghuni kubur, dan memohonkan do’a khusus bagi yang dia ziarahi dan pengampunan. Mengambil pelajaran dari keadaan orang mati sehingga bisa menjadi peringatan dan nasehat baginya. Inilah bentuk ziarah yang syar’i.

2) Berdo’a kepada Allah subhanahu wa taala bagi dirinya sendiri dan bagi orang-orang yang dicintainya dipekuburan atau di dekat sebuah kuburan tertentu dengan keyakinan bahwa berdo’a dipekuburan atau pada kuburan seseorang tertentu afdhal (lebih utama) dan lebih mustajab daripada berdo’a di mesjid. Dan ini adalah bid’ah munkarah, haram hukumnya.

3) Berdo’a kepada Allah subhanahu wa taala dengan mengambil perantara jah (kedudukan) penghuni kubur atau haknya. Seperti dia berkata : “Aku memohon pada-Mu wahai Rabbku berikanlah …(sesuatu)… dengan jah (kedudukan) penghuni kuburan ini atau dengan haknya terhadap-Mu, atau dengan kedudukannya disisi-Mu” ; atau yang semisalnya. Dan ini adalah bid’ah muharramah dan haram hukumnya, sebab perbuatan tersebut adalah sarana/jalan yang mengantar kepada kesyirikan kepada Allah subhanahu wa taala.

4) Tidak berdo’a kepada Allah subhanahu wa taala melainkan berdo’a kepada para penghuni kubur atau kepada penghuni kubur tertentu, seperti dia berkata : Wahai wali Allah, Wahai Nabi Allah, Wahai tuanku, cukupilah aku atau berilah aku…(sesuatu)…dan semisalnya. Dan ini adalah syirik Akbar (besar).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya Ar-Raddu ‘Alal Bakry hal.56-57, ketika menyebutkan tingkatan bid’ah yang berhubungan dengan ziarah kubur, kata beliau : “Bid’ahnya bertingkat-tingkat :

Tingkatan Pertama (yang paling jauh dari syari’at) : Dia (penziarah) meminta hajatnya pada mayat atau dia beristighotsah (meminta tolong ketika terjepit/susah) padanya sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang terhadap kebanyakan penghuni kubur. Dan ini adalah termasuk jenis peribadatan kepada berhala.

Tingkatan kedua : Dia (penziarah) meyakini bahwa berdo’a disisi kuburnya mustajab atau bahwa do’a tersebut afdhal (lebih baik) daripada berdo’a di mesjid-mesjid dan di rumah-rumah. Dan dia maksudkan ziarah kuburnya untuk hal itu (berdo’a di sisi kuburan), atau untuk shalat disisinya atau untuk tujuan meminta hajat-hajatnya padanya. Dan ini juga termasuk kemungkaran-kemungkaran yang baru berdasarkan kesepakatan imam-imam kaum muslimin. Dan ziarah tersebut haram. Dan saya tidak mengetahui adanya pertentangan pendapat dikalangan imam-imam agama ini tentang masalah ini.

Tingkatan ketiga : Dia (penziarah) meminta kepada penghuni kubur agar memintakan (hajat) baginya kepada Allah. Dan ini adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan para imam-imam kaum muslimin.

Hal-hal yang diharamkan dalam ziarah kubur

(Bid’ah-bid’ah Ziarah Kubur)

1. Kesyirikan.

Syirik Akbar (besar) sering terjadi dan dilakukan oleh sebagian orang di kuburan. Batasan syirik besar (Asy-Syirkul Akbar) itu sendiri adalah jika seseorang memalingkan satu jenis atau satu bentuk dari jenis-jenis/bentuk-bentuk ibadah kepada selain Allah subhanahu wa taala. Segala i’tiqod (keyakinan), atau perkataan atau perbuatan yang telah tsabit (kuat) bahwa itu adalah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa taala, maka memalingkannya kepada selain Allah subhanahu wa taala adalah kesyirikan dan kekufuran. (Lihat : Al-Qaul As-Sadid Syarh kitab At-Tauhid karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy hal 48).

Syirik Akbar (besar) yang mungkin sering terjadi dikuburan adalah :

- menyembelih untuk penghuni kubur,

- menunaikan nadzar kepadanya,

- memberikan persembahan kepada penghuni kubur yang disertai dengan keyakinan dan perasaan cinta dan atau berharap dan atau takut terhadap penghuni kubur,

- bertawakkal kepadanya,

- berdo’a kepadanya,

- meminta pertolongan untuk mendapatkan kebaikan (Isti’anah) atau untuk lepas dari kesulitan (istighotsah) pada penghuni kubur,

- thawaf pada kuburan,

- dan ibadah lainnya yang ditujukan untuk penghuni kubur.

Semua hal tersebut di atas adalah syirik besar dan mengakibatkan batalnya seluruh amalan. Allah subhanahu wa taala berfirman ; setelah menyebutkan tentang para nabi dan rasul-Nya :

ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”.(Q.S. Al-An’am : 88).

Tidak ada seorangpun yang beramal seperti amalannya para nabi dan rasul, sebab merekalah orang-orang yang paling tahu tentang Allah dan paling taqwa kepada-Nya, tetapi Allah subhanahu wa taala tetap menyatakan bahwa seandainya mereka berbuat kesyirikan maka akan sirna/lenyap semua apa yang mereka kerjakan. Seperti juga firman Allah subhanahu wa taala yang lainnya :

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu : “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”. (Q.S. Az-Zumar : 65-66).

Dan ayat-ayat di atas menggambarkan tentang begitu berbahayanya syirik tersebut dan begitu sesatnya manusia jika terjatuh ke dalam kesyirikan tersebut. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa taala :

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا


“Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.

(Q.S. An-Nisa : 48)


dan firman Allah subhanahu wa taala :



إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا


“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”. (Q.S. An-Nisa : 116).

dan firman Allah subhanahu wa taala :


وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ


“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar"”. (Q.S. Luqman : 13).

2. Duduk di atas kuburan, sebagaimana penjelasan yang lalu dalam tata cara ziarah kubur.

3. Shalat menghadap kuburan,

Point 2 dan 3 berdasarkan sabda Nabi shollallahu alaihi wa alihi wa sallam :

لاَ تُصَلُّوْا إِلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تَجْلِسُوْا عَلَيْهَا

“Janganlah kalian shalat menghadap kuburan dan jangan pula kalian duduk di atasnya”.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim 3/62 dari hadits Abi Martsad Al-Ghanawy.


4. Shalat dikuburan, meskipun tidak menghadap padanya, berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry :

الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ


“Bumi ini semuanya adalah mesjid (tempat shalat) kecuali pekuburan dan kamar mandi”. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no.317, Ibnu Majah 1/246 no.745, Ibnu Hibban 8/92 no.2321.

Dan hadits Anas bin Malik :

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ بَيْنَ الْقُبُوْرِ


“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melarang dari shalat diantara kuburan”. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban 4/596 no.1698.

Dan Hadits Ibnu ‘Umar :


اِجْعَلُوْا فِيْ بُيُوْتِكُمْ مِنْ صَلاَتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا

“Lakukanlah di rumah-rumah kalian sebagian dari shalat-shalat kalian dan janganlah menjadikannya sebagai kuburan”. H.R. Bukhary no.422.

Maksudnya bahwa kuburan tidaklah boleh dijadikan tempat shalat sebagaimana rumah yang dianjurkan untuk dilakukan sebagian shalat padanya (shalat-shalat sunnah bagi laki-laki).


Dan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تَقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ.


“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai pekuburan, sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim no.780.

5. Menjadikan kuburan sebagai tempat peringatan, dikunjungi pada waktu-waktu tertentu dan pada musim-musim tertentu untuk beribadah disisinya atau untuk selainnya.

Berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

لاَ تَتَّخِذُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا وَلاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْراً وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَصَلُّوْا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ



“Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat peringatan dan janganlah menjadikan rumah kalian sebagai kuburan dan dimanapun kalian berada bersholawatlah kepadaku sebab sholawat kalian akan sampai kepadaku”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 2/367, Abu Daud no.2042. (Lihat : Kitab Ahkamul Jana`iz dan kitab Min Bida’il Qubur).

6. Melakukan perjalanan (bersafar) dengan maksud hanya untuk berziarah kubur.

Berdasarkan hadits :

v Hadits Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى. أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيْ وَمُسْلِمٌ وَلَفْظُهُ " إِنَّمَا يُسَافَرَ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْكَعْبَةِ وَمَسْجِدِيْ وَمَسْجِدِ إِيْلِيَاءَ.

“Tidaklah (boleh) dilakukan perjalanan (untuk ibadah) kecuali kepada tiga mesjid : Al-Masjidil Haram dan Masjid Ar-Rasul dan Masjid Al-Aqsho”. Dikeluarkan oleh Imam Bukhary dan Muslim dengan lafazh “safar itu hanyalah kepada tiga mesjid (yaitu) Masjid Al-Ka’bah dan Mesjidku dan Masjid Iliya`”.

v Hadits Abu Sa’id Al-Khudry dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :

لاَ تُشَدُّ وَفِيْ لَفْظٍ : لاَ تَشُدًّوْا الرِّحَالَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِيْ هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقُصَى. أَخْرَجَهُ الشَّيْخَانِ وَاللَّفْظُ الْآخَرُ لِمُسْلِمٍ.

Artinya : “Tidaklah (boleh) dilakukan perjalanan -dan dalam sebuah riwayat : janganlah kalian melakukan perjalanan- (untuk ibadah) kecuali kepada tiga mesjid : Mesjidku (Mesjid Nabawy), Masjidil Haram dan Masjid Al-Aqsho”. Muttafaqun ‘alaihi.

7. Menyalakan lampu (pelita) pada kuburan.

Karena perbuatan tersebut adalah bid’ah yang tidak pernah dikenal oleh para salafus sholeh, dan hal itu merupakan pemborosan harta dan karena perbuatan tersebut menyerupai Majusi (para penyembah api). Lihat : Kitab Ahkamul Jana`iz hal. 294.

8. Membaca Al-Qur`an dikuburan.

Membaca Al-Qur`an dipekuburan adalah suatu bid’ah dan bukanlah petunjuk Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Bahkan petunjuk (sunnah) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam adalah berziarah dan mendo’akan mereka, bukan membaca Al-Qur`an.

Dan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ.

“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai pekuburan, sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah Al-Baqarah”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 780.

Pada hadits ini terkandung pengertian bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memerintahkan ummatnya agar membaca Al-Qur`an di rumah-rumah mereka (menjadikan rumah-rumah mereka sebagai salah satu tempat membaca Al-Qur`an), kemudian beliau menjelaskan hikmahnya, yaitu bahwa syaithan akan lari dari rumah-rumah mereka jika dibacakan surah Al-Baqarah.

Dan sebelumnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam telah melarang untuk menjadikan rumah-rumah mereka sebagai kuburan yang dihubungkan dengan hikmah (illat tersebut), maka mafhum (dipahami) dari hadits di atas adalah bahwa kuburan bukanlah tempat yang disyari’atkan untuk membaca Al-Qur`an, bahkan tidak boleh membaca Al-Qur`an padanya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Para ulama telah menukil dari Imam Ahmad tentang makruhnya membaca Al-Qur`an dikuburan dan ini adalah pendapat jumhur As-Salaf dan para shahabatnya (Ahmad) yang terdahulu juga di atas pendapat ini, dan tidak ada seorangpun dari ‘ulama yang diperhitungkan mengatakan bahwa membaca Al-Qur`an dikuburan afdhal (lebih baik). Dan menyimpan mashohif (kitab-kitab Al-Qur`an) dikuburan adalah bid’ah meskipun untuk dibaca… dan membacakan Al-Qur`an bagi mayat adalah bid’ah”. Lihat Min Bida’il Qubur hal.59.

9. Mengeraskan suara di kuburan.

Berkata Qais bin Abbad : “Adalah shahabat-shahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyukai merendahkan suara dalam tiga perkara : dalam penerangan, ketika membaca Al-Qur`an dan ketika di dekat jenazah-jenazah. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no.11201. Lihat Min Bida’il Qubur hal.88.

Catatan:

Untuk no.10 dan seterusnya akan disebutkan saja bentuk bid’ahnya dengan menunjuk rujukannya kalau ada, adapun yang tidak disebutkan rujukannya maka ia masuk ke dalam umumnya perkara-perkara yang bid’ah karena tidak dicontohkan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam maupun para shahabatnya walaupun sebab untuk melakukannya ada. Hal ini dilakukan agar tulisan ini tidak menjadi terlalu panjang. Wallahul Musta’an.

10. Memasang payung. Lihat Min Bida’il Qubur hal 93-94.

11. Menanaminya dengan pohon dan kembang.

12. Menyiraminya dengan air

13. Menaburkan kembang padanya.

14. Berziarah kubur setelah hari ke-3 dari kematian dan berziarah pada setiap akhir pekan kemudian pada hari ke-15, kemudian pada hari ke-40 dan sebagian orang hanya melakukannya pada hari ke-15 dan hari ke-40 saja. (Kitab Ahkamul Jana`iz).

15. Menziarahi kuburan kedua orang tua setiap hari jum’at (kitab Ahkamul Jana`iz).

16. Keyakinan sebagian orang yang menyatakan bahwa : mayat jika tidak diziarahi pada malam jum’at maka dia akan tinggal dengan hati yang hancur diantara mayat-mayat lainnya dan bahwa mayat itu dapat melihat orang-orang yang menziarahi begitu mereka keluar dari batas kota. (Al-Madkhal 3/277).

17. Mengkhususkan ziarah kubur pada hari ‘Asyura`. (Al-Madkhal 1/290).

18. Mengkhususkan ziarah pada malam nisfu sya’ban (Al-Madkhal 1/310, Talbis Iblis hal.429).

19. Bepergian ke pekuburan pada 2 hari raya ‘Ied (‘Iedhul Fithri dan ‘Iedhul Adha). (Ahkamul Jana`iz hal.325).

20. Bepergian kepekuburan pada bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan (Ahkamul Jana`iz hal.325).

21. Mengkhususkan berziarah kubur pada hari senin dan kamis (Kitab Ahkamul Jana`iz hal.325).

22. Berdiri dan diam sejenak dengan sangat khusyu’ di depan pintu pekuburan seakan-akan meminta izin untuk masuk, kemudian setelah itu baru masuk ke pekuburan (Ahkamul Jana`iz hal.325).

23. Berdiri di depan kubur sambil meletakkan kedua tangan seperti seorang yang sedang shalat, kemudian duduk disebelahnya (Ahkamul Jana`iz hal.325).

24. Melakukan tayammum untuk berziarah kubur (Kitab Ahkamul Jana`iz hal.325).

25. Membacakan surah Al-Fatihah untuk para mayit. (kitab Ahkamul Jana`iz 325).

26. Membaca do’a :

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحُرْمَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ لاَ تُعَذِّبَ هَذَا الْمَيِّتَ

“Ya Allah aku meminta kepada-MU dengan (perantara) kehormatan Muhammad shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam agar Engkau tidak menyiksa mayat ini”. (Ahkamul Jana`iz hal.326).

27. Menamakan ziarah terhadap kuburan tertentu sebagai haji. (Ahkamul Jana`iz).

28. Mengirimkan salam kepada para Nabi melalui orang yang menziarahi kuburan mereka. (Lihat : Kitab Ahkamul Jana`iz hal.327).

29. Mengirimkan surat dan foto-foto kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lewat orang yang berziarah ke Mesjid Nabawy. Dan hal ini sering terjadi/dialami.

30. Berziarah kekuburan pahlawan tak dikenal. (Ahkamul Jana`iz 327).

31. Perkataan bahwa do’a akan mustajab jika dilakukan di dekat orang-orang sholeh. (Ahkamul Jana`iz).

32. Memukul beduk, gendang dan menari disisi kuburan Al-Khalil Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam rangka pendekatan diri kepada Allah subhanahu wa taala (Al-Madkhal 4/246).

33. Meletakkan mushaf dikuburan bagi orang-orang yang bermaksud membaca Al-Qur`an. (Al-Fatawa 1/174).

34. Melemparkan sapu tangan dan pakaian ke kuburan dengan tujuan tabarruk (mencari berkah). (Al-Madkhal 1/263).

35. Berlama-lamanya seorang wanita pada sebuah kuburan dan menggosok-gosokkan kemaluannya pada kuburan dengan tujuan supaya ia bisa hamil. (Ahkamul Jana`iz hal.330).

36. Mengusap-usap kuburan dan menciumnya. (Iqtidha` Ash-Shirathal Mustaqim karya Ibnu Taimiyah, Al-I’tishom karya Asy-Syathiby).

37. Menempelkan perut dan punggung atau sesuatu dari anggota badan pada tembok kuburan (Ziyaratul Qubur wal Istinjad bil Maqbur ; Ibnu Taimiyah hal.54).

38. Berziarah kekubur para nabi dan orang-orang sholeh dengan maksud untuk berdo’a disisi kuburan mereka dengan harapan terkabulnya do’a tersebut. (Ar-Raddu ‘Alal Bakry hal.27-57).

39. Keluar dari kuburan (pekuburan) yang diagungkan dengan cara berjalan mundur. (Al-Madkhal 4/238).

40. Berdiri yang lama dihadapan kuburan Nabi untuk mendo’akan dirinya sendiri sambil menghadap ke kuburan. (Ar-Raddu ‘alal Bakry / Ahkamul Jana`iz hal.335).

Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk amalan/perbuatan yang dilakukan ketika berziarah kubur yang menyelisihi cara berziarah yang syar’i yang mana semua bentuk-bentuk tersebut adalah bid’ah di dalam agama ini yang telah dinyatakan oleh nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwa setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat tempatnya di neraka. Na’udzu billahi minha. Wallahu Ta’ala A’lam Bishshowab.

Maroji’

1. Ahkamul Jana`iz Wa Bid’auha / Syaikh Al-Imam Muhammad Nashirudddin Al-Albany.

2. Al-I’tishom / Al-Imam Asy-Syathiby.

3. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab / Al-Imam An-Nawawy.

4. Al-Mughny / Ibnu Qudamah.

5. Al-Muntaqo Min Fatawa Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan.

6. Ash-Shorimul Munky Fii Ar-Raddi ‘Ala As-Subky / Muhammad bin Abdul Hady.

7. Hasyiah Ar-Raudhoh Murbi’ Syarh Zadul Mustaqni’ / ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim An-Najdy.

8. Iqtidho` Ash-Shirothol Mustaqim Fii Mukhalafatu Ashhabul Jahim / Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

9. Madkhal Asy-Syar’u Asy-Syarif / Al-Imam Muhammad bin Muhammad Al-Abdary Ibnul Hajj.

10. Majmu’ Al-Fatawa / Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

11. Manarus Sabil Fii Syarh Ad-Dalil / Syaikh Ibrahim bin Muhammad Duwaiyyan.

12. Min Bida’il Qubur / Hamad bin ‘Abdullah bin Ibrahim Al-Humaidy.

13. Nailul Author Min Ahaditsi Sayyidil Akhyar / Al-Imam Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukany.

14. Talbis Iblis / Ibnul Jauzy.

15. Talkhis Kitab Al-Istighotsah (Ar-Raddu ‘alal Bakry) / Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

16. Taudhihul Ahkam / ‘Abdullah Al-Bassam.

17. Zadul Ma’ad Fii Hadyi Khairil ‘Ibad / Ibnul Qoyyim Al-Jauzy.

18. Ziyaratul Qubur Wa Hukmul Istinjad bil Maqbur / Syaikh Islam Ibnu Taimiyah.

http://www.an-nashihah.com/isi_berita.php?id=43

Jalan Golongan Yang Selamat 13

HUKUM HANYA MILIK ALLAH SEMATA
Penulis : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Allah menciptakan makhluk dengan tujuan agar mereka beribadah kepadaNya semata. Ia mengutus para rasulNya untuk mengajar manusia, lalu menurunkan kitab-kitab kepada mereka, sehingga bisa memberikan hukum (putusan) yang benar dan adil di antara manusia. Hukum tersebut tercermin dalam firman Allah Taala, dan dalam sabda Rasulullah . Hukum-hukum itu mengandung berbagai masalah. Di antaranya ibadah, muamalah (pergaulan antar manusia), aqaid (kepercayaan), tasyri (penetapan syariat), siyasah (politik) dan berbagai permasalahan manusia lainnya.

1. Hukum dalam aqidah:

Yang pertama kali diserukan oleh para rasul adalah pelurusan aqidah serta mengajak manusia kepada tauhid.

Nabi Yusuf misalnya, ketika berada di dalam penjara beliau me-nyeru kedua temannya kepada tauhid, ketika keduanya menanyakan padanya tentang tabir (tafsir) mimpi. Sebelum nabi Yusuf menjawab pertanyaan keduanya, ia berkata:

يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ، مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ،
"Hai kedua penghuni penjara, manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Hukum (keputusan) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Yusuf: 39-40)

2. Hukum dalam ibadah:

Kita wajib mengambil hukum-hukum ibadah, baik shalat, zakat, haji dan lainnya dari Al-Quran dan hadits shahih, sebagai realisasi dari sabda Rasulullah :

صلوا كما رأيتموني أصلي
"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat" (Muttafaq alaih)

خذوا عني مناسككم
"Ambillah teladan dariku dalam tata cara ibadah (hajimu)." (HR. Muslim)

Dan merupakan penerapan dari ucapan para imam mujtahid, "Jika hadits itu shahih maka ia adalah madzhabku."

Bila antara imam mujtahid terjadi perselisihan pendapat, kita tidak boleh fanatik terhadap perkataan seseorang di antara mereka, kecuali kepada yang memiliki dalil shahih yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah.

3. Hukum dalam muamalah:

Hukum dalam muamalah (pergaulan antarmanusia), baik yang berupa jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa dan lain sebagai-nya. Semua hal tersebut harus berlandaskan hukum (keputusan) Allah dan RasulNya. Hal ini berdasarkan firman Allah:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa: 65)

Para mufassir, dengan menyitir riwayat dari Imam Al-Bukhari menyebutkan, sebab turunnya ayat di atas adalah karena sengketa masalah irigasi (pengairan) yang terjadi antara dua sahabat Rasulullah . Lalu Rasulullah memutuskan bahwa yang berhak atas irigasi tersebut adalah Zubair. Serta merta lawan sengketanya berucap, "Wahai Rasulullah, engkau putuskan hukum untuknya (maksudnya, dengan membela Zubair) karena dia adalah anak bibimu!" Sehubungan dengan peristiwa tersebut turunlah ayat di atas.

4. Hukum dalam masalah hudud (hukuman yang ditetapkan untuk memenuhi hak Allah) dan qishash (hukum balas yang sepadan):

Hal ini berdasarkan firman Allah Tala:

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim." (Al-Maaidah: 45)

5. Tasyri (penetapan syariat) adalah milik Allah semata:

Allah berfirman:

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
"Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu." (Asy-Syuura: 13)

Allah menolak orang-orang musyrik yang memberikan hak penetapan hukum kepada selain Allah. Allah berfirman:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah?" (Asy-Syuura: 21)

KESIMPULAN:

Setiap umat Islam wajib menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih sebagai hakim (penentu hukum), merujuk kepada kedua-nya manakala sedang berselisih dalam segala hal, sebagai realisasi dari firman Allah:

وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah." (Al-Maaidah: 49)

Juga penerapan dari sabda Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam :

وما لم تحكم ائمتهم بكتاب الله ، ويتخيروا مما أنزل الله، إلا جعل الله بأسهم بينهم
"Dan selama para pemimpin umat tidak berhukum kepada kitab Allah, dan memilih apa yang diturunkan oleh Allah, niscaya ke-sengsaraan akan ditimpakan di tengah-tengah mereka." (HR. Ibnu Majah dan lainnya, hadits hasan)

Umat Islam wajib membatalkan hukum-hukum (perundang-undangan) asing yang ada di negaranya. Seperti undang-undang Perancis, Inggris dan lainnya yang bertentangan dengan hukum Islam.

Hendaknya umat Islam tidak lari ke mahkamah yang berlandas-kan undang-undang yang bertentangan dengan Islam. Hendaknya me-reka mengajukan perkaranya kepada orang yang dipercaya dari ka-langan ahli ilmu, sehingga perkaranya diputuskan secara Islam, dan itulah yang lebih baik bagi mereka. Sebab Islam menyadarkan mereka, memberikan keadilan di antara mereka, efisien dalam hal uang dan waktu. Tidak seperti peradilan buatan manusia yang menghabiskan materi secara sia-sia. Belum lagi adzab dan siksa besar yang bakal di-terimanya pada hari Kiamat. Sebab dia berpaling dari hukum Allah yang adil, dan berlindung kepada hukum buatan makhluk yang zhalim.

Jalan Golongan Yang Selamat 6

MAKNA LAA ILAAHA ILALLAH
(TIADA TUHAN YANG BERHAK DISEMBAH MELAINKAN ALLAH)
Penulis : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Kalimat laa ilaaha illallah ini mengandung makna penafian (peniadaan) sesembahan selain Allah dan menetapkannya untuk Allah semata.

1. Allah berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah." (Muhammad: 19)

Mengetahui makna laa ilaaha illallah adalah wajib dan harus didahulukan dari seluruh rukun yang lainnya.

2. Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من قال : لااله الا الله مخلصا دخل الجنة
"Barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallah dengan Keikhlasan hati, pasti ia masuk Surga." (HR. Ahmad, hadits shahih)

Orang yang ikhlas ialah yang memahami laa ilaaha illallah, mengamalkannya, dan menyeru kepadanya sebelum menyeru kepada yang lainnya. Sebab kalimat ini mengandung tauhid (pengesaan Allah), yang karenanya Allah menciptakan alam semesta ini.

3. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam menyeru pamannya Abu Thalib ketika menjelang ajal,

يا عم قل : لا اله الا الله كلمة احاج لك بها عند الله، وابي ان يقو ل : لا اله الا الله
"Wahai pamanku, katakanlah, Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), seuntai kalimat yang aku akan berhujjah dengannya untukmu di sisi Allah, maka ia (Abu Thalib) enggan mengucapkan laa ilaaha illallah." (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam tinggal di Makkah selama 13 tahun, beliau mengajak (menyeru) bangsa Arab: "Katakanlah, Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), maka mereka menjawab: Hanya satu tuhan, kami belum pernah mendengar seruan seperti ini? Demikian itu, karena bangsa Arab memahami makna kalimat ini. Sesungguhnya barangsiapa mengucapkannya, niscaya ia tidak menyembah selain Allah. Maka mereka meninggalkannya dan tidak mengucapkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada mereka:

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ,وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آَلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ , بَلْ جَاءَ بِالْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِينَ
"Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mere-ka, Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sem-bahan-sembahan kami karena seorang penyair gila? Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya)." (Ash-Shaffat: 35-37)

Dan Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من قال لااله الا الله وكفر بما يعبد من دون الله حرم ماله ودمه
"Barangsiapa mengucapkan, Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) dan mengingkari sesuatu yang disembah selain Allah, maka haram hartanya dan darah-nya (dirampas/diambil)." (HR. Muslim)

Makna hadits tersebut, bahwasanya mengucapkan syahadat me-wajibkan ia mengkufuri dan mengingkari setiap peribadatan kepada selain Allah, seperti berdoa (memohon) kepada mayit, dan lain-lain-nya.

Ironisnya, sebagian orang-orang Islam sering mengucapkan syahadat dengan lisan-lisan mereka, tetapi mereka menyelisihi maknanya dengan perbuatan-perbuatan dan permohonan mereka kepada selain Allah.

5. Laa ilaaha illallah adalah asas (pondasi) tauhid dan Islam, pedoman yang sempurna bagi kehidupan. Ia akan terealisasi dengan mempersembahkan setiap jenis ibadah untuk Allah. Demikian itu, apabila seorang muslim telah tunduk kepada Allah, memohon kepa-daNya, dan menjadikan syariatNya sebagai hukum, bukan yang lain-nya.

6. Ibnu Rajab berkata: "Al-Ilaah (Tuhan) ialah Dzat yang ditaati dan tidak dimaksiati, dengan rasa cemas, pengagungan, cinta, takut, pengharapan, tawakkal, meminta, dan berdoa (memohon) ke-padaNya. Ini semua tidak selayaknya (diberikan) kecuali untuk Allah . Maka barangsiapa menyekutukan makhluk di dalam sesuatu per-kara ini, yang ia merupakan kekhususan-kekhususan Allah, maka hal itu akan merusak kemurnian ucapan laa ilaaha illallah dan mengan-dung penghambaan diri terhadap makhluk tersebut sebatas perbuatannya itu.

7. Sesungguhnya kalimat "Laa ilaaha illallah" itu dapat bermanfaat bagi yang mengucapkannya, bila ia tidak membatalkannya dengan suatu kesyirikan, sebagaimana hadats dapat membatalkan wudhu seseorang.

Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من كان اخر كلامه لا اله الا الله دخل الجنة
"Barangsiapa yang akhir ucapannya laa ilaaha illallah, pasti ia masuk Surga." (HR. Hakim, hadits hasan)

Senin, 16 Juni 2014

Daurah Sidrap Rabiul Tsani 1431 H

JADWAL DAURAH BULANAN DI KAB. SIDRAP, SUL-SEL.

Bismillahirrahmanirrahiim

Berikut Jadwal Kegiatan DAURAH SALAFIYAH Yang Insya Allah akan dilaksanakan setiap bulan di Kab. Sidrap pada pekan ke-4 (Sabtu – Ahad) yang akan dibawakan oleh :

AL-USTADZ ABU ‘ABDILLAH KHIDIR BIN MUHAMMAD SANUSI hafidzahullah
(Murid Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah / Pengasuh Pondok Pesantren As-Sunnah, Makkassar)

Jadwal Untuk Bulan ini : Rabiul Tsani 1431 H. / Maret 2010 M.

Hari 1 : Sabtu, 11 Rabiul Tsani 1431 H. / 27 Maret 2010 M.

KAJIAN KITAB RIYADHUS SHALIHIN
(Taman Orang-orang Shalih)
Karya : Imam An-Nawawi rahimahullah
Pukul : 18.40 – 19.20 WITA (Maghrib – Isya’)

Tempat : MASJID AS-SUNNAH, Desa Teppo, Massepe, Kec. Tellu LimpoE, Kab. Sidrap (Terbuka untuk Umum : Ikhwan dan Akhwat)

Hari 2 : Ahad, 12 Rabiul Tsani 1431 H. / 28 Maret 2010 M.

1. KAJIAN KITAB SYARH MASA’ILUL JAHILIYAH
(Penjelasan tentang perkara-perkara jahiliyah)
Karya : Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
Syarah : Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzhahullah
Pukul : 09.30 – 11.00 WITA

2. KAJIAN KITAB SHAHIH SIRAH NABAWIYAH
(Sejarah Perjalanan Hidup Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam)
Karya : Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah
Tahqiq : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah
Pukul : 11.00 – Dzhuhur

3. TAUSIYAH / CERAMAH UMUM / TANYA JAWAB
Pukul : 12.35 – 13.00 WITA

Tempat : MASJID AS-SUNNAH, Dusun II Labempa, Desa KaniE, Kec. MaritengngaE Kab. Sidrap (Terbuka untuk Umum : Ikhwan dan Akhwat)

Daurah Hari ke-2 ini merupakan DAURAH GABUNGAN yang biasa diikuti oleh :

1. Ikhwah Kab. Sidrap selaku tuan rumah.
2. Ikhwah Kota Pare-pare.
3. Ikhwah Kab. Pinrang.
4. Ikhwah Kab. Bone.
5. Ikhwah Kab. Wajo.
6. Ikhwah Kab. Soppeng.
7. Ikhwah Kab. Enrekang.
8. Ikhwah Kab. Polman, Sul-Bar.

Informasi Silakan hubungi :
• Al-Akh Abu Mujahid, (Masjid As-Sunnah, Massepe) 081 342 289 079.
• Al-Akh Abu Yahya, (Masjid As-Sunnah, KaniE) 085 255 600 618.
• Al-Akh Abdul Majid Said, 081 355 132 485.

Ahlussunnah mengimani sifat Allah Berbicara

Penulis : Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed

Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan para Ashabul Hadits sejak zaman sahabat sampai hari ini telah meyakini bahwa Allah سبحانه وتعالى memiliki sifat kalam (berbicara). Dan mereka meyakini bahwa Allah سبحانه وتعالى berkuasa untuk berbicara kapanpun dia kehendaki.

Allah سبحانه وتعالى telah menjelaskan dengan tegas dalam ayat-Nya:

...وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا. ]النساء: 164[

…Dan Allah telah berbicara langsung kepada Musa. (an-Nisaa’: 164)

Telah diriwayatkan secara mutawatir bahwa ayat ini dibaca dengan rafa’ pada lafdhul jalallah “Allahu”. Dalam ilmu nahwu hal itu berarti Allah sebagai pelaku dari kata kerja kallama atau berarti Allah-lah yang berbicara.

Hanya kaum mu’tazilah yang menyelewengkan bacaan tersebut dengan membacanya secara manshub pada lafdhul jalallah “Allaha”. Sehingga mereka menterjemahkannya “Musa mengajak berbicara Allah”, atau dalam hal ini berarti Musa-lah yang berbicara kepada Allah. Ta’wil ini mereka lakukan untuk menolak sifat Kalam bagi Allah.

Namun, mereka tidak bisa membantah dan mena’wilkan ayat Allah سبحانه وتعالى yang menyatakan:

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ... ]الأعراف: 143[

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb-nya telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Rabb-ku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada-Mu”…. (Al-A’raaf: 143)

Dalam ayat ini jelas sekali dinyatakan bahwa yang berbicara adalah Allah, bukan Musa, karena tidak mungkin kata ganti “hu” (“nya”) berlaku sebagai pelaku.

Alasan kaum mu’tazilah menolak sifat kalam bagi Allah di atas adalah sama seperti ketika mereka menolak sifat-sifat lainnya bagi Allah. Mereka menganggap bahwa kalau kita mengimani Allah berbicara, berarti menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.

Oleh karena itu bantahan Ahlus Sunnah bagi mereka cukup dengan apa yang kita telah sebutkan pada edisi yang lalu, yaitu berbicaranya Allah sesuai dengan keagunganNya, tidak sama dengan berbicaranya makhluk. Selesai.

Apalagi dalam hadits-hadits yang shahih, banyak disebutkan tentang sifat kalam bagi Allah. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi:

أَتَمْنَعُوْنَنِيْ أََنْ أُبَلِّغَ كَلاَمَ رَبِّيْ؟ (رواه البخاري، وأَبو داود والترمذي وابن ماجه والدارمي وأحمد والحاكم)

Apakah kalian menghalangiku untuk menyampaikan ucapan Rabb-ku? (HR. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Darimi, Ahmad, dan Hakim).

Bahkan disebutkan dalam riwayat yang shahih bahwa Allah benar-benar berbicara dengan suara yang didengar oleh para malaikat. Ini bantahan bagi pendapat kaum Asy’ariyyah dan sejenisnya yang menyatakan bahwa Allah menciptakan pembicaraan, bukan berbicara dengan suara yang terdengar.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

إِذَا تَكَلَّمَ اللهُ بِالْوَحْيِ سَمِعَ أَهْلُ السَّمَوَاتِ صَلْصَلَةً كَجَرِّ السِّلْسِلَةِ عَلَى الصَّفَا فَيُصْعِقُوْنَ فَلاَ يَزَالُوْنَ كَذَلِكَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ جِبْرِيْلُ حَتَّى إِذَا جَاءَهُمْ جِبْرِيْلُ فُزِعَ عَنْ قُلُوْبِهِمْ قَالَ فَيَقُوْلُوْنَ يَا جِبْرِيْلُ مَاذَا قَالَ رَبُّكَ؟ فَيَقُوْلُ: الْحَقُّ. فَيَقُوْلُوْنَ الْحَقُّ الْحَقُّ. (حديث صحيح رواه أبو داود)

Jika Allah berbicara dengan wahyu, penduduk langit mendengar suara gemerincing seperti rantai yang diseret di atas batu. Mereka pingsan, dan mereka terus-menerus dalam keadaan demikian hingga Jibril mendatangi mereka. Ketika Jibril datang kepada mereka, dicabutlah rasa takut pada hati-hati mereka, seraya bertanya: “Ya Jibril, apa yang telah dikatakan oleh Rabbmu? Jibril menjawab: “Kebenaran”. Maka mereka pun berkata: “Kebenaran, kebenaran”. (HSR. Abu Dawud)

Betapa banyak ayat-ayat dalam al-Quran dan hadits-hadits yang shahih yang menyatakan di dalamnya “Allah berfirman”. Maka para ulama sangat keras menentang orang-orang yang menolak sifat kalam bagi Allah, yang mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk bukan ucapan Allah. Bahkan di antara mereka dengan tegas mengkafirkan orang-orang yang menyatakan “al-Quran adalah makhluk ciptaan Allah, bukan ucapan Allah”.

Berkata Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah:

الْقُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ غَيْرَ مَخْلُوْقٍ، فَمَنْ قَالَ: إِنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوْقٌ فَهُوَ كَافِرٌ بِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَلاَ تُقْبَلُ شَهَادَتُهُ وَلاَ يَعَادُ إِنْ مَرِضَ وَلاَ يُصَلَّى عَلَيْهِ إِنْ مَاتَ وَلاَ يُدْفَنُ فِي مَقَابِرِ الْمُسْلِمِيْنَ. يُسْتَتَابُ فَإِنْ تَابَ وَإِلاَّ ضُرِبَتْ عُنُقُهُ.

Al-Qur’an adalah ucapan Allah, bukan makhluk (ciptaan Allah). Barang siapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka dia telah kafir kepada Allah yang Maha Agung. Tidak diterima persaksiannya, tidak ditengok ketika sakit, tidak dishalatkan ketika mati dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. (Hukum baginya adalah) diminta taubatnya kalau mau bertaubat; kalau tidak mau bertaubat, maka dipenggal lehernya.” (Disebutkan oleh adz-Dzahabi dengan ringkas dalam Siyar a’lamu nubala juz 14 hal. 374: (Lihat Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 40-41)

Sebagian mereka –para penakwil sifat kalam bagi Allah- berkilah dengan menyatakan bahwa yang dimaksud ucapan Allah di atas adalah hanya yang didengar oleh malaikat. Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca oleh kaum muslimin yang ada dalam mushaf-mushaf, maka itu adalah makhluk bukan ucapan Allah.

Menanggapi masalah ini, Imam Ahmad memiliki jawaban yang sangat tepat, tegas dan jelas. Beliau berkata:

اللَّفْظِيَّةُ حَهْمِيَّةٌ، قَالَ اللهَ تَعَالَى: ]فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللَّهِ...[. مِمَّنْ يَسْمَعُ؟!

Barangsiapa yang mengatakan al-Qur’an dengan lafadz kita adalah makhluk, maka dia termasuk jahmiyah. Karena Allah telah berfirman: “…. maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengarkan firman Allah.” Dari mana mereka mendengar?! (Lihat aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al Manshuri, hal. 42)

Adapun yang dimaksud oleh Imam Ahmad adalah ayat:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَعْلَمُونَ. ]التوبة: 6[

Dan jika salah seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia, supaya ia sempat mendengarkan firman Allah. Kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (At-Taubah: 6)

Imam Ahmad berdalil dengan ayat di atas bahwa yang al-Quran dibaca oleh kaum muslimin adalah ucapan Allah. Hal itu karena orang-orang kafir yang diberi perlindungan (suaka politik) di negeri kaum muslimin, diharapkan dapat mendengarkan ucapan Allah, yang tentunya didengar dari bacaan-bacaan kaum muslimin di masjid-masjid, di rumah-rumah mereka dan lain-lain.

Berkata Imam Ash-Shabuni رحمه الله: “Ahlul hadits mempersaksikan dan meyakini bahwa al-Qur’an adalah ucapan Allah, kitab Allah, wahyu Allah yang diturunkan oleh Allah; bukan makhluk (ciptaan Allah). Barang siapa yang mengatakan al-Qur’an adalah makhluk dan meyakininya, maka ia telah kafir menurut mereka”. (Lihat Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 40)

Selanjutnya beliau berkata: “Maka ayat-ayat al-Qur’an yang dihafalkan dalam dada-dada, yang dibaca di lisan-lisan, yang ditulis dalam mushaf-mushaf, dibaca oleh pembacanya, dilafadzkan oleh orang yang melafadzkannya, dihafalkan oleh para penghafalnya, di mana ia dibaca dan kapan pun dikumandangkannya, dicetak di dalam mushaf-mushaf kaum muslimin, dicatat dalam papan-papan tulis anak-anak dan lain-lainnya semuanya adalah ucapan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung, bukan makhluk. Barangsiapa yang menganggapnya sebagai makhluk, maka dia telah kafir kepada Allah yang Maha Agung” . (Lihat Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 40)

Sesungguhnya apa yang dikatakan oleh para ulama di atas sangat jelas yakni al-Qur’an adalah ucapan Allah, dan ucapan Allah adalah Maha Sempurna. Dan jika kita biarkan mereka -ahlul bid’ah- menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk Allah, maka berarti kita menganggap bahwa al-Qur’an tidak sempurna, karena tidak ada satu makhluk pun yang sempurna.

Oleh karena itu ketika seorang membaca al-Qur’an kita katakan bahwa dia sedang membaca ucapan Allah.
Ketika seseorang menulis ayat-ayat al-Qur’an, kita nyatakan bahwa dia sedang menulis ucapan Allah.
Ketika seseorang sedang menghafalkan al-Qur’an, kita meyakini bahwa dia sedang menghafal ucapan Allah.

Demikianlah seterusnya Ahlussunnah sejak zaman para shahabat sangat terbiasa dengan bahasa-bahasa yang demikian dan menyebutkan al-Qur’an dengan Kalamullah (ucapan Allah).

Berlindung dengan Kalimat Allah bukan merupakan kesyirikan

Ada satu bantahan lagi yang membuktikan keyakinan Ahlussunnah bahwa al-Qur’an ucapan Allah bukan makhluk. Bukti ini membantah ahlul bid’ah dari kalangan mu’tazilah, asy’ariyah atau pun yang sejenisnya dari para rasionalis yang mengatakan bahwa al-Qur’an makhluk. Yaitu perintah Rasulullah صلى الله عليه وسلم agar kita berdoa dan berlindung dengan kalimat-kalimat Allah, seperti dalam doa beliau صلى الله عليه وسلم:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّآمَّةِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ.

Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan-kejahatan makhluk-makhluk-Nya.

Hal ini membuktikan bahwa kalimat-kalimat Allah adalah bukan makhluk, karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak mungkin mengajarkan kesyirikan, yaitu berdoa dan berlindung kepada makhluk. Kedudukan doa itu sama dengan doa-doa Nabi صلى الله عليه وسلم lainnya yang mengajarkan untuk berlindung dengan sifat-sifat Allah seperti:

أَعُوْذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ.

Aku berlindung dengan kemuliaanMu dan kekuasaan-Mu dari kejelekan yang aku dapati dan aku jauhi.”

(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 45/Th. II, 26 Dzulqo’dah 1425 H/6 Januari 2005 M, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli "Allah Berbicara, bukan menciptakan pembicaraan". Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp di bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief Subekti, Agus Rudiyanto, Zaenal Arifin; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Arif Subekti telp. (0231) 481215.)